Belakangan ini, rasisme kembali digemakan oleh beberapa penduduk dunia. Spektrum kasusnya ada di Amerika Serikat, karena tindakan diskriminasi rasial yang dilakukan oleh aparat keamanan kepada warganya.
Kematian George Flyod menjadi tranding pembicaraan hangat di beberapa platform media sosial. Aksi vandalisme menjadi penanda reaksi masyarakat sipil terhadap perlakuan negara kepada warga. Tagar #BlackLivesMatter digemakan.
Namun, hal yang menimpa George Flyod hanyalah pertikel kecil dari sekian banyak peristiwa diskriminasi rasial di beberapa negara-negara dunia, tak terkecuali Indonesia. Yang membedakan adalah jumlah korban jiwa atas peristiwa tersebut.
Kasus George Floyd turut menandai kemunculan tagar #PapuanLivesMatter di Indonesia. Dengan spektrum yang sama "Rasisme."
Indonesia, sebagai negara yang dikenal plural, yang rakyatnya menerima segala jenis perbedaan: ras, agama dan suku-suku, juga memiliki basis moral dan etika yang kuat agar tetap menjalankan roda kehidupan yang harmonis, berubah menjadi rasis. Bukan maksud menggeneralisir, karena tidak semua warga melakukan hal itu.
Rasisme bukanlah hal baru dalam pengalaman hidup di negara yang tengah berkembang ini, jadi nggak usah kaget soal rasisme. Toh dalam beberapa dekade, Indonesia pernah mengalami beberapa konflik ras, diantaranya: konflik Ambon, Maluku (1999-2003), korban meninggal 10,000 orang; Konflik Sampit, Kalimantan Tengah (2001), antara Suku Dayak dan Madura; Konflik antar pribumi dan Tionghoa yang dikenal sebagai kerusuhan Mei 1998; Konflik antar penganut agama di Poso (1998-2001) antara muslim dan kristen. Beberapa konflik yang disebutkan memiliki resolusi yang berbeda-beda.
Namun bukan itu poinnya. Bukan konflik ras dalam bentuk horizontal, melainkan vertikal (antar negara dan warga) yang melahirkan diskriminasi rasial oleh negara kepada warga.
Kasus George Floyd turut menandai kemunculan tagar #PapuanLivesMatter di Indonesia. Dengan isu yang sama "Diskriminasi rasial."
Papua, pada Agustus 2019, tepatnya di wilayah Jayapura, Fakfak, Monokwari dan Timika kembali mengalami keriuhan. Hal itu diawali karena tindakan diskriminasi rasial yang dilakukan aparat kemanan dan beberapa ormas reaksioner terhadap mahasiswa Papua yang sedang menggali ilmu di rantau, tepatnya di Surabaya dan Malang. Setelah kejadian tersebut, chaos antara aparat keamanan dan masyarakat sipil pun terjadi.
Komnas HAM dalam jurnal HAM (2015), Amiruddin al-Rahab "Pelanggaran HAM yang Berat di Papua: Konteks dan Solusinya," mengemukakan sejak tahun 1970an hingga tahun 1998 beberapa rentetan peristiwa konflik vertikal marak terjadi di Papua, tindakan represif aparat keamanan terhadap masyarakat Papua tidak menggambarkan penerapan pendekatan humanistik terhadap rakyat Papua yang notabenenya merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.