Mohon tunggu...
Aslang Jaya
Aslang Jaya Mohon Tunggu... Lainnya - Malu ah

Tiap kata akan menemui pembacanya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pejabat Publik Harus Belajar Konsisten dari Patrick Star

5 Juni 2020   18:54 Diperbarui: 16 Juni 2020   16:40 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Unsplash.com/arturtumasjan)

SIAPA yang tidak kenal karakter bintang laut merah jambu satu ini, bercelana motif bunga dan tidak pernah mengenakan baju. Karakter yang selama hidupnya tinggal dibalik batu di sebuah kota kecil bernama Bikini Bottom.

Penggemar serial kartun SpongeBob SquarePants pasti tahu dan kenal, karena dalam tiap episode, tingkah konyolnya kerap mengundang tawa penonton.

Patrick Star atau Patrick, nama yang diberikan oleh Stephen Hillenburg dalam serial kartun garapannya yang diidentikkan dengan karakter polos, lucu dan bertingkah konyol. Warga Bikini Bottom mengaggap Patrick sebagai makhluk laut terbodoh, kendati kebodohannya tersebut ialah bentuk konsistensi dirinya sehingga hal itulah yang membedakan antara dia dan karakter-karakter lain.

Pertanyaan yang muncul ialah apa yang mesti dipelajari dari karakter Patrick dalam kartun itu? Ya, konstistensi. Karena seringkali kita mengabaikan hal kecil itu dalam menjalani roda kehidupan. Contoh kecil dalam kehidupan sehari-hari ialah: hari ini kita katakan A kemudian akan berubah menjadi B dilain hari. Konsistensi tidak berjalan sebagaimana ucapan dari seorang pengucap.

Padahal konsistensi akan menjadi tolak ukur orang lain untuk percaya kepada kita. Menjadi bekal dalam perjalan hidup untuk menegasikan insinuasi khalayak.

Menyoal konsistensi, arahnya tak akan jauh dari watak yang melekat pada politisi kita, terutama yang telah berstatus sebagai pejabat publik. Beberapa khalayak mengidentikkan politisi dengan hal-hal yang negatif. Hal tersebut telah terkontruksi dalam alam pikir dan menjadi paradigma publik.

Salah satu yang menjadi penyebab utama ialah para pejabat publik tidak konsisten atas kebijakan-kebijakan yang mereka buat. Misalnya hari ini kebijakan A, dilain hari menjadi kebijakan B tanpa indikator dan orientasi yang jelas.

Hal lain yang menjadi kegelisahan ketika para politisi sebelum berstatus sebagai pejabat publik ialah ketidak-konsistenan atas janji politik sewaktu berkampanye.

Benar bahwa kampanye merupakan bentuk tawar menawar antara peserta Pemilu dan pemilih dalam kontestasi demokrasi agar tersalurkan suara publik dibalik bilik kotak suara. Tapi apakah hanya sebatas itu ukurannya? Tidak!, sebab diperlukan realisasi terkait apa yang telah dijanjikan.

Konsistensi pejabat publik, terutama Presiden sebagai kepala negara belakangan ini menjadi pembicaraan (lagi). Betapa tidak, ditengah masa sulit bangsa saat menghadapi pandemi Covid-19, termasuk beberapa negara-negara dunia. Beliau justru menerapkan kebijakan baru yang disebut "New normal," dengan dalih menjaga stabilitas perekonomian negara, setelah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) belum lama diterapkan.

Tagar #IndonesiaTerserah pun digemakan oleh nitizen di beberapa platform media daring, sebagai bentuk kekecewaan rakyat terhadap Pemerintah yang tidak mampu menekan jumlah kasus Covid-19 di tanah air. Masih membekas dalam ingatan, tatkala Presiden Joko Widodo mengumumkan akan mengerahkan seluruh kekuatan pemerintah dan negara dalam mengatasi pandemi yang tengah dihadapi bangsa saat ini.

"Saya akan menggerakkan kekuatan pemerintah dan negara dan bangsa untuk mengatasi kesulitan ini. Baik masalah kesehatan maupun masalah sosial ekonomi yang mengikutinya. Pemerintah memprioritaskan wilayah yang menurut hasil pemetaan menunjukkan indikasi yang paling rawan terinfeksi Covid-19," kata Jokowi (20/3), dikutip dari media Kompas.

Alih-alih menekan jumlah kasus Covid-19, perharinya saja jumlah kasus Covid-19 kian meningkat secara signifikan, apalagi ditambah dengan penerapan "New normal" yang "Wajib diterapkan" oleh seluruh kepala daerah dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Tercatat jumlah kasus kematian akibat Covid-19 telah menembus angka 1,613 kasus dalam tiga bulan terakhir, mulai dari Maret hingga Mei 2020. Bukankah "Nyawa manusia lebih berharga dibanding kepentingan apapun?" Atau mungkin hal itu bukanlah persoalan bagi para pemangku kebijakan?

PSBB atau New Normal

Menyoal probabilitas orientasi penerapan kebijakan "New normal" ada dua: pertama, menjaga stabilitas ekonomi tetap kondusif atau kedua, karena lobi-lobi kepentingan para pengusaha kelas kakap sehingga penerapan "New normal" itu dijadikan kebijakan baru ditengah pandemi Covid-19 yang belum mereda secara signifikan di Indonesia. Entah.

Konsisten menerapkan PSBB bukanlah perbuatan dosa, bila dilakukan dengan cara-cara manusiawi, menghilangkan tindakan persekusi, intimidasi dan diskriminasi rasial agar tidak melanggar prinsip hak asasi manusia. Dan itu dimulai dari "Political will" pejabat publik sebagai modal awal dalam membuat kebijakan.

Bila bicara konsistensi, sebaiknya kepala negara sebagai pemegang pucuk pimpinan kekuasaan konsisten dengan kebijakan yang belum matang dirasakan manfaatnya diiringi dalam pengambilan upaya yang lebih progresif untuk menekan angka kasus Covid-19. Menegasikan kepentingan individual yang menggiurkan di depan mata, demi kepentingan kolektif bangsa.

Kita berharap demikian, sebab penuh harap ialah watak manusia yang tak boleh terpisahkan selama kaki masih menjajaki bumi. Entah harapan itu terkabul atau tidak itu persoalan lain. Anggap bonus bila terkabul.

Patrick telah memulai hal itu, dengan modal konsisten pada kediriannya sebagai karakter yang diidentikan sebagai makhluk laut terbodoh dengan bertingkah konyol di Bikini Bottom ialah simbol konsistensi dirinya. Lantas, patutkah kita mengamini bahwa pejabat publik hari-hari ini perlu belajar banyak dari Patrick soal konsistensi?

Terakhir, mengutip kata Patrick dalam salah satu episode "Mungkin Aku bodoh, tapi Aku tidak dungu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun