Mohon tunggu...
Aslang Jaya
Aslang Jaya Mohon Tunggu... Lainnya - Malu ah

Tiap kata akan menemui pembacanya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

COVID-19 dan Konflik Papua yang Terlupakan

8 Mei 2020   17:35 Diperbarui: 16 Juni 2020   17:12 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (unsplash.com/irisuijttewaal)

PANDEMI Covid-19 yang melanda beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia menjadi problematika umat yang perlu dan penting untuk segera diselesaikan. Konstalasi kehidupan berbangsa seolah berubah 90 derajat dibanding biasanya.

Negara sebagai barang abstrak yang terkonstruksi melalui Konstitusi dan oleh Pemerintah diberi konstituen untuk melindungi segenap kehidupan bangsanya. Pandemi Covid-19 telah dikategorikan sebagai bencana non-alam yang memicu otoritas negara lebih mendominasi dibanding hak azasi manusia (HAM) yang senantiasa harus dilindungi dan dijaga agar tetap eksis sebagaimana harapan-harapan yang melekat padanya.

Bangsa Indonesia saat ini ramai membincangkan soal pandemi Covid-19 yang sedang melanda, kendati lupa dengan persoalan anak bangsa di wilayah bagian timur, tepatnya Papua. Media informasi juga turut andil dalam hal ini.

Sudah lupakah kita dengan kisruh Wamena yang telah menjadi catatan buruk rezim yang tengah berkuasa saat ini? Apakah darah yang tumpah, ruh yang memisah dengan jasad merupakan hal yang biasa saja, sehingga tak diupayakan untuk dicarikan jalan keluar dengan menyentuh akar permasalahan yang seharusnya diselesaikan.

Catatan Komnas HAM (2014) mengumumkan bahwa ada sebanyak 4 orang tewas akibat konflik horizontal di Paniai, hingga saat ini belum menemui jalan keluar. Padahal masyarakat Indonesia umumnya, dan warga Papua khususnya mengharapkan agar ada penyelesaian dari Pemerintah terkait hal itu.

Juga lupakah kita tentang informasi mengenai tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh aparatur negara bersama kelompok masyarakat di Surabaya yang secara bersama-sama melakukan perlakuan tak berkemanusiaan terhadap mahasiswa Papua yang sedang menggali ilmu di tanah rantau.

Hal tersebut menimbulkan reaksi di Papua dan melahirkan konflik baru tepatnya di Sorong, Monokwari dan sebagian besar kota-kota di Papua juga melakukan protes atas tindakan rasisme dan diskriminasi tersebut. Perlukah kita menyimpulkan bahwa kejadian berulang dengan resolusi konflik sama merupakan bentuk kegagalan Pemerintah dalam menangani konflik?

Rentetan peristiwa 

Pada tahun 1970 hingga tahun 1998 beberapa rentetan peristiwa konflik vertikal –antara negara dan warga-- marak terjadi di Papua, tindakan represif aparat keamanan terhadap masyarakat Papua tidak menggambarkan penerapan pendekatan humanistik terhadap rakyat Papua yang notabenenya merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Opini publik yang bergulir juga bermacam-macam dan paling parah ialah stigma terhadap masyarakat Papua bahwa hal itu merupakan langkah separatis yang dilakukan agar dapat memisahkan diri dari NKRI.

Awal konflik bermula ketika Belanda dan Indonesia memperebutkan wilayah Papua antara menjadi bagian dari NKRI atau negara sendiri yang dimerdekakan oleh Belanda. Hingga berakhir pada negosiasi di forum PBB yang menghasilkan perjanjian New York (1962) dibawah rezim Sukarno.

Hasil negosiasi tersebut adalah Penentuan Pendapat Rakyat (Papera)---mengembalikan permufakatan kepada rakyat Papua---antara memilih bergabung dengan Indonesia atau bersepakat dengan Belanda untuk menjadi negara sendiri yang dimerdekakan. Hasil dari Papera (1969) wilayah Papua resmi menjadi bagian NKRI.

Walau Pepera dimenangkan Indonesia, sebagian besar warga Papua merasa bahwa Pepera tidak dilakukan dengan satu orang satu suara. Tetapi dilakukan dengan musyawarah. Untuk mendukung pernyataan ini, pemilih pada saat Pepera adalah 1,025 orang. Sedangkan jumlah warga Papua saat itu adalah 800 ribu.

Pendekatan militeristik bukan solusi

Di masa Gus Dur, pengamalan merangkul bangsa  Papua boleh dinilai berhasil karena dalam catatan sejarah saat itu sangat minim terjadi konflik. Pemerintah pada waktu itu menggunakan cara-cara humanistik dengan merangkul warga Papua lalu meyakinkan mereka bahwa warga Papua berhak diperlakukan sama.

Contohnya ialah tatkala Gus Dur ingin melihat matahari terbit di Papua, padahal kondisi mata Gus Dur saat itu tidak bisa melihat alias buta.

Beberapa pengamat politik menyampaikan bahwa hal itu adalah strategi politik Gus Dur "Mengistimewakan" warga Papua sebagai bagian dari NKRI, tidak boleh ada diskriminasi. Tanpa ada perbedaan sedikitpun antara masyarakat yang lain dalam naungan NKRI.

Hal inilah yang semestinya menjadi acuan Pemerintah yang sedang berkuasa agar senantiasa melakukan tindakan-tindakan humanis.

Namun sangat disayangkan, upaya Pemerintah saat ini pun melakukan tindakan militeristik. Wilayah Sorong, Monokwari dan Wamena, aparat keamanan ditambah sebanyak 2,500 personil TNI/Polri.

Hal tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut penanganan konflik.

Padahal bila berkaca pada sejarah panjang Orde Baru juga melakukan hal yang sama. Melakukan pendekatan militeristik yang implikasinya justru resolusi konflik kian menganga dan berujung pada jatuhnya korban jiwa baru yang semakin meningkat.

Laporan Komnas HAM ada sebanyak 10,000 korban jiwa akibat konflik yang dimulai tahun ‘70-an hingga ‘98. Apakah Pemerintahan sekarang akan mengulangi kejadian yang sama dengan tindakan militeristik yang dilakukan? Semoga tidak.

Perlu diingat bahwa nyawa manusia lebih berharga dibanding kepentingan apapun. Upaya terbaik yang perlu dilakukan ialah berdialog lalu bernegosiasi dengan masyarakat Papua terkait apa yang semestinya dilakukan bersama.

tayang di suarapapua.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun