Mohon tunggu...
Aslang Jaya
Aslang Jaya Mohon Tunggu... Lainnya - Malu ah

Tiap kata akan menemui pembacanya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

COVID-19 dan Konflik Papua yang Terlupakan

8 Mei 2020   17:35 Diperbarui: 16 Juni 2020   17:12 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (unsplash.com/irisuijttewaal)

Hasil negosiasi tersebut adalah Penentuan Pendapat Rakyat (Papera)---mengembalikan permufakatan kepada rakyat Papua---antara memilih bergabung dengan Indonesia atau bersepakat dengan Belanda untuk menjadi negara sendiri yang dimerdekakan. Hasil dari Papera (1969) wilayah Papua resmi menjadi bagian NKRI.

Walau Pepera dimenangkan Indonesia, sebagian besar warga Papua merasa bahwa Pepera tidak dilakukan dengan satu orang satu suara. Tetapi dilakukan dengan musyawarah. Untuk mendukung pernyataan ini, pemilih pada saat Pepera adalah 1,025 orang. Sedangkan jumlah warga Papua saat itu adalah 800 ribu.

Pendekatan militeristik bukan solusi

Di masa Gus Dur, pengamalan merangkul bangsa  Papua boleh dinilai berhasil karena dalam catatan sejarah saat itu sangat minim terjadi konflik. Pemerintah pada waktu itu menggunakan cara-cara humanistik dengan merangkul warga Papua lalu meyakinkan mereka bahwa warga Papua berhak diperlakukan sama.

Contohnya ialah tatkala Gus Dur ingin melihat matahari terbit di Papua, padahal kondisi mata Gus Dur saat itu tidak bisa melihat alias buta.

Beberapa pengamat politik menyampaikan bahwa hal itu adalah strategi politik Gus Dur "Mengistimewakan" warga Papua sebagai bagian dari NKRI, tidak boleh ada diskriminasi. Tanpa ada perbedaan sedikitpun antara masyarakat yang lain dalam naungan NKRI.

Hal inilah yang semestinya menjadi acuan Pemerintah yang sedang berkuasa agar senantiasa melakukan tindakan-tindakan humanis.

Namun sangat disayangkan, upaya Pemerintah saat ini pun melakukan tindakan militeristik. Wilayah Sorong, Monokwari dan Wamena, aparat keamanan ditambah sebanyak 2,500 personil TNI/Polri.

Hal tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut penanganan konflik.

Padahal bila berkaca pada sejarah panjang Orde Baru juga melakukan hal yang sama. Melakukan pendekatan militeristik yang implikasinya justru resolusi konflik kian menganga dan berujung pada jatuhnya korban jiwa baru yang semakin meningkat.

Laporan Komnas HAM ada sebanyak 10,000 korban jiwa akibat konflik yang dimulai tahun ‘70-an hingga ‘98. Apakah Pemerintahan sekarang akan mengulangi kejadian yang sama dengan tindakan militeristik yang dilakukan? Semoga tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun