Mohon tunggu...
Aslan Z
Aslan Z Mohon Tunggu... -

kata itu energi semesta

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Lebaran lagi-lagi Berbeda, Sampai Kapan..?

30 Agustus 2011   03:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:22 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari Makassar, shalat Idul Fitri salah satunya diselenggarakan di Pusat Dakwah Muhammadiyah, jalan Perintis Kemerdekaan, lokasi berdekatan dengan kampus Universitas Hasanuddin (depan Unhas). Areal ini telah dipadati oleh kaum muslimin sejak pukul 06:00 pagi, jamaah berdatangan dari sekitaran Tamalanrea, perumahan Antara, pemukiman BTP, Daya, Tello dan sekitarnya.

Jamaah membludak hingga memenuhi badan jalan, untuk sementara arus lalu lintas dari kedua arah sebagian dialihkan berputar dalam wilayah kampus Unhas. Sepanjang pengalaman penulis melaksanakan shalat Ied di Pusat Dakwah Muhammadiyah, baru kali ini terlihat jamaah yang lumayan banyak, berjubel penuh mulai dari depan hingga belakang di areal pusat perbelanjaan Top Mode Makassar. Hal ini salah satunya karena tempat penyelenggaraan shalat Ied hanya terbatas pada lokasi tertentu saja, beda bila shalat dilakukan serentak di seluruh wilayah, yang akan memberi pilihan tempat beribadah lebih banyak lagi bagi para jamaah.

Penulis sendiri, malam sebelum shalat Ied, berencana untuk berlebaran sesuai keputusan Pemerintah yaitu pada tanggal 31 Agustus 2011. Walau tentu secara pribadi, sangat disesalkan mengapa tak jua dicapai kesepakatan tunggal dalam tubuh umat Islam. Tentu hal tersebut menjadi semacam keprihatinan tersendiri terlepas dari argumentasi bahwa perbedaan adalah rahmat bagi umat.

Paling tidak perbedaan hari lebaran itu menjadi sinyal betapa ada problem yang tidak bisa dipandang kecil oleh para pemuka agama, perbedaan ini bertutur,bahwa umat sebagai satu kesatuan belum satu langkah dalam menentukan perkara terkait kepentingan bersama. Logika sederhana dapat kita kemukakan, bahwa tak mungkin semua pihak yang berseberangan pendapat itu sama-sama benar, pasti ada salah satu saja yang benar, atau bisa saja semuanya salah? Kalau semuanya benar, sepertinya tidak mungkin…?

Mengapa pada awalnya memilih untuk berlebaran di hari rabu nanti, tidak lain tergerak oleh dorongan dan rasa percaya pada keputusan yang diambil pemerintah. Ketetapan niat tadi menjadi goyah setelah pada dini hari selepas sahur, melalui media internet, dapat terbaca sejumlah informasi dan pandangan berbeda seperti tercantum dalam tulisan di Kompasiana misalnya bahwa keputusan berlebaran di hari selasa telah menjadi ketetapan banyak negara, baik itu negara tetangga maupun negeri-negeri yang jauh dari kita. Bahkan di sejumlah situs tercantum bahwa hilal telah terlihat di beberapa tempat di muka bumi.

Yang menjadi pertanyaan, apakah sudah ada koordinasi antara pemerintah kita dengan negara lain, katakanlah dengan negara tetangga, semisal tukar menukar informasi seputar pemantauan hilal atau yang lainnya, saya pikir dengan perkembangan teknologi komunikasi seperti sekarang, hal tersebut menjadi sesuatu yang mudah saja dikerjakan. Apakah keinginan untuk berpatokan hanya pada informasi dari dalam negeri adalah langkah bijak dan sudah sepatutnya demikian? Bukankah penentuan idul fitri tak semata terkungkung oleh wilayah teritorial kita saja atau persoalan geografis kedaerahan semata. Mengapa ketika negara lain begitu yakin berlebaran di hari selasa, pemerintah kita tak mencoba mencari tahu apa penyebab keyakinan tersebut? Mohon dikoreksi bila keliru…

Kenyataan betapa dalam tubuh umat terdapat perbedaan penentuan Idul Fitri sesungguhnya tak bisa dilihat sebagai peristiwa perbedaan pendapat an sich,terdapat realitas lain di balik itu bahwa umat belum lagi bisa duduk bersama untuk berketetapan pada satu keputusan bersama. Baik itu pada lingkup sebangsa maupun apalagi berlainan bangsa.

Tentu di tingkat elit kita jamak mendengar himbauan bahwa perbedaan tak guna dibesar-besarkan, ia sesuatu yang wajar saja, manusiawi dan sebagainya. Hanya saja menilik dari kacamata keutuhan umat sungguh ini menjadi preseden yang menggetarkan hati, bahwa entah sampai kapan kecenderungan kita sebagai satu bangsa, satu umat untuk berbeda (membedakan diri) akan terus berlangsung. Tulisan ini terdorong oleh kerinduan untuk menantikan momen indah lebaran bersama seluruh umat. Wallahu A’lam….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun