Mohon tunggu...
Aslan Z
Aslan Z Mohon Tunggu... -

kata itu energi semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Soeharto Tak Sepenuh-Penuhnya Salah

20 Oktober 2010   05:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:16 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Soeharto itu Presiden RI ke-3, presiden RI yang kedua jika merunut pada data historis ialah Sjafruddin Prawiranegara, pernah diserahi mandat memimpin pemerintahan darurat kala presiden dan wapres ditawan saat agresi militer Belanda II. Kira-kira demikian. Namun kenapa penempatan urut-urutan presiden tak memberi tempat bagi Sjafruddin Prawiranegara? Apakah karena keterlibatannya dalam peristiwa PRRI? Padahal jasa-jasa beliau tak kecil, berjuang menyelenggarakan pemerintahan agar tetap berlangsung dan tidak terjadi kekosongan kekuasaan. Terasa nuansa lain dari perjalanan bangsa ini bila Presiden ke-2 (Sjafruddin P) ternyata turut ‘andil’ dalam makar. Untuk ini orang-orang masih bisa berdebat (Mohon bagi sahabat kompasianer yang paham hukum tata negara untuk mengoreksi).

Kembali pada Soeharto, tengah diusulkan menjadi pahlawan. Beragam fakta pendukung terbit bertubi-tubi; mulai dari keikutsertaan dalam pergerakan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, Soeharto tak bisa dibantah terbukti berperan penting, menyabung nyawa demi tegaknya kata merdeka di republik. Belum lagi bila kita tautkan dengan kepemimpinan sebagai panglima Mandala operasi pembebasan Irian Barat. Untuk argumentasi itu, Soeharto tak bisa tidak wajar bila didaulat sebagai pahlawan. Sekiranya saja dia meninggal bukan setelah menjabat presiden, katakanlah bila meninggal di tahun 1965 atau 1966, mungkin hampir seluruh anak bangsa akan serentak bergabung setuju menyematkan gelar pahlawan pada beliau. Hampir pasti tak ada debat seperti sekarang.

Problem pelik tatkala Soeharto memegang kursi kekuasaan tiga dasawarsa lebih, berbagai kebijakan, pikiran dan tindakannya telah berdampak tertentu pada sebagian anak bangsa yang lain. Untuk ini anda bisa menyebut berbagai hal dan peristiwa, tentu dengan fakta dan data yang sulit pula ditepis begitu saja. Kita sama-sama mengetahui.

Soeharto seakan mewakili, menjadi perlambang “cuaca sejarah” negeri ini yang terisi oleh sesuatu yang tak tuntas. Mulai dari sejarah kerajaan di nusantara, durasi penjajahan Belanda yang tak masuk akal itu, peristiwa berdarah beragam konflik sejarah, seteru sesama anak bangsa, integrasi bangsa dan sejenisnya. Saya memilih kata tak tuntas, lebih karena terdorong oleh pertanyaan bahwa sebagai bangsa, kita mengalami kerumitan dalam berlatih mendewasakan diri. Betapa dalam hidup, tidak semuanya bisa dimengerti, tanya selalu melenting. Walau tentu ikhtiar kolektif menelusuri lorong gelap kebenaran itu tak boleh mati begitu saja.

Saya rindu ingin bertanya, jika saja kita mengutuk kebiadaban pemimpin dalam kurun waktu tertentu, lantas di posisi manakah kita memahat altar bagi status dan peranan para pengikut dan sebagian besar rakyat yang dalam periode itu memilih untuk ‘diam’, bertepuk tangan pada kebijakan penguasa dan melontar puja-puji pada pemimpin yang berkuasa. Tak seutuhnya semua keliru jatah pemimpin, justru kebanyakan rakyat punya saham dengan derajat porsi berbeda. Sebagian besar bangsa kita memang berwatak ikut-ikutan saja, mengalir mengikut angin bertiup. Saat menjelang jatuhnya Soeharto, seingat saya yang bersuara lantang itu paling Sri Bintang Pamungkas, Bambang Warih dan Amien Rais. Selebihnya memilih berbisik dibalik selimut atau bergerak diam-diam. Tokoh-tokoh lain yang kini naik daun dan terkenal itu, dahulu memilih bermain aman saja, mengikut gerbong gerakan perubahan nanti  setelah yakin bahwa rezim ini telah sekarat, tak punya daya lagi.

Seharto tak sepenuh-penuhnya total salah atas kebijakan yang dibuatnya. Kita ingin bertanya pada saat itu dimana fungsi penasihat, wartawan, ulama, anggota DPR, mahasiswa, media dan sebagainya.

Lalu pertanyaan lain, layakkah Soeharto menjadi pahlawan mengingat sejumlah hal kontroversial semasa berkuasa. Kita mengalami kesulitan juga sebab sesungguhnya kita memberi tempat terhormat pada seseorang atas dasar apa saja? Mungkin memang kita mendamba sosok pahlawan itu manusia suci bersih tanpa dosa tanpa salah, tapi bukankah manusia itu tempat salah dan khilaf untuk bercokol. Sekadar berandai-andai, jika saat itu selepas Bung Karno bukan Soeharto yang menjadi presiden, apakah keutuhan NKRI masih bisa dipertahankan. Bukan bermaksud untuk membanding-bandingkan, namun setelah Soeharto, di masa presiden lain, Timor-Timur lepas, Sipadan Ligitan jatuh ke pihak asing, perbatasan kita seenak-enaknya dilanggar oleh negara lain. Saat Soeharto presiden mereka semua tak berani sekurang-ajar itu kepada Indonesia. Masih banyak contoh lain.

Disitu pula dilema, bila diangkat sebagai pahlawan, lalu bagaimana model pertanggungjawaban kita sebagai bangsa kepada korban pelanggaran HAM dan seterusnya.

Pak Harto tak sepenuh-penuhnya salah atas berbagai masalah bangsa. Sebagai bagian dari republik, beliau punya jasa besar bagi kokoh tegaknya republik. Lagipula apakah Pak Harto butuh pada gelar pahlawan? Akh.. ada-ada saja pemerintah kita, sejenak bersama kita tersenyum sedikit.

Selain itu bisakah kita menjumpai manusia yang tak berdosa, suci penuh, tak bernoda aib. Setiap kita tentu memiliki noda dan aib, setidaknya sampai saat ini sebagai manusia kita bersyukur bahwa Tuhan Sang Maha Pengasih masih saja ‘berbaik hati’ menutupi keburukan-keburukan kita, tidak membiarkannya terbuka meluap memenuhi udara. Wallahu A’lam...

Makassar, 20 Oktober 2010

Foto dari Google

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun