Sebagai manusia, para pendiri bangsa tak berbeda dengan rakyat Indonesia yang lain. Mereka menjalani laku hidup sederhana. Sisi manusiawi banyak mewarnai perjalanan tokoh-tokoh itu. Pelajaran sejarah di sekolah, sedikit dan bahkan tidak bercerita tentang sisi lain tokoh kita, tentang kejadian penting dalam hidup. Berani mengambil putusan beda dari pakem utama yang berlaku saat itu tentu bukan perkara mudah.
Jalinan rasa tadi melintas, saat merapikan koleksi buku di lemari kamar. Pandangan tertumbuk wajah dokter Soetomo (pendiri Boedi Oetomo). Foto beliau menjadi sampul jurnal berwarna hijau ‘Ebers Papyrus Vol.3 No. 1, 1997”. Jurnal yang terbit dengan kulit muka bercerita tentang Soetomo, sejarah singkat hidupnya di masa kecil, sekolah di Stovia dan seterusnya. Semua ditulis ringkas saja.
Lalu apa daya tariknya, terkait dengan soal konsistensi? Tentu ada, selain kebiasaan Soetomo yang suka berganti-ganti lokasi mengabdi dengan menjalani kebiasaan berpindah dari daerah satu ke daerah lain. Ia juga tidak memilih perempuan pribumi untuk dijadikan kekasih dan isteri.
Selepas dari Stovia, Soetomo bekerja di Lubuk Pakam kota kecil dekat Medan. Lalu berpindah menuju Malang, Kepanjen, Magetan dan Blora. Di tempat terakhir di rumah sakit Kota Blora, ia berkenalan dengan perawat berbangsa Belanda, Ng E J de Graaff, seorang janda kulit putih yang suaminya telah meninggal. Soetomo bersama perawat itu kemudian menikah secara islam di tahun 1917.
Sebuah keputusan menarik, menikahi perempuan Belanda. Pilihan hidupnya sempat menjadi polemik di kalangan kaum pergerakan. Soetomo disorot sebab ada anggapan di kaum pergerakan bahwa dengan pernikahan itu, kita kehilangan anak bangsa berbakat yang telah memilih untuk menyatu dengan perempuan Belanda.
Ada juga yang menyayangkan mengapa mesti menikahi perempuan Belanda? Mengapa menikahi janda ? Apakah tak ada lagi gadis pribumi sendiri, cantik dan sebudaya yang layak untuk diperistri ? Gunjingan itu tak berhenti begitu saja, koran terbitan Belanda ikut-ikutan bernada miris atas pernikahan Soetomo.
Tetapi itulah Dokter Soetomo. Cinta kuasa memekarkan daya tarik di hati. Sungguh tak ada lagi kekuatan yang dapat mematahkan bila panah asmara menembus. Mereka berikrar sehidup semati. Saya tak berani membayangkan, di tengah mulai tumbuhnya kesadaran nasional dan penolakan terhadap dominasi kolonial Belanda di masa itu. Justru Soetomo memilih jalan berbeda dari kehendak orang banyak.
Soetomo memang sosok humanis tercerahkan, berbaur dengan rakyat dan bergaul dengan guru-guru Belanda yang berpikiran terbuka, memberi corak unik dalam cara berpikir dan bertindak dalam menghadapi realita.
Soetomo menikah di usia 29 tahun. Pernikahan mereka berlangsung selama 17 tahun, sang isteri meninggal pada tahun 1934 karena penyakit, dimakamkan di Surabaya. Sepeninggal sang isteri, Soetomo memilih untuk tidak menikah lagi.
Sungguh Cinta tak mengenal warna kulit, bangsa dan perbedaan pandangan politik.
Salut untuk Soetomo atas keteguhan sikapnya !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H