Mohon tunggu...
H.a.irmina Netty Wahyoe
H.a.irmina Netty Wahyoe Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bandung, Jakarta, Batam

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Saat yang Tepat Untuk Memaafkan

10 Februari 2012   04:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:50 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Bagaimana caranya ‘Memaafkan’… ???

Satu hal yang kelihatannya sepele tapi sampai saat ini ribuan orang bahkan jutaan orang begitu sulit melakukannya….mengapa?

Aku coba mencari-cari jawabannya, dari banyak orang, dari banyak refferensi, dari banyak nasehat…yang semuanya memang tetap kedengaran mudah, sementara untuk melaksanakannya belum tentu semua bisa…

Aku sendiri, dari beberapa kali mencoba memaafkan dengan menerapkan beberapa cara, ada yang berhasil untuk kasus-kasus tertentu, ada yang belum juga sukses sampai sekarang…masih perlu waktu, kesetiaan dan menjauhkan diri dari pikiran dan perilaku negatif kita sendiri..lho? koq kita sendiri?....

Yah, ternyata satu hal yang bisa aku simpulkan, kunci memaafkan itu adalah diri kita sendiri..’how you driving your mind’..kata seorang penasehatku…

Benarkah orang yang memaafkan tidak mengalami emosi dalam dirinya?...atau tidak mengalami kebencian dalam hatinya?....Hmmm, kelihatannya itu nggak semua benar di permulaannya…justru itulah yang harus dihalau saat kita ingin belajar memaafkan, menghalau emosi, kebencian dan segala ingatan kita yang kembali muncul dan dan berlari-lari mengitari pikiran kita, menusuk-nusuk hati kita dengan ketajamannya, menyayat-nyayat hati kita hingga kembali terluka..keadaan yang selalu terjadi di tahap awal…

Lalu kapan saat yang tepat untuk mulai belajar memaafkan? Apakah pada saat pikiran dan kebencian itu datang atau justru pada saat lain…

Belajar dari pengalaman, cara yang paling efektif untuk mulai belajar memaafkan adalah justru pada jam-jam dan saat-saat terbaik kita….yaitu pada saat hati kita tenang, riang, penuh kegembiraan, pada saat itulah kita memanggil kembali memori yang menyakitkan dan menyedihkan, ingatan akan kebencian itu kehadapan kita yang saat itu sedang dalam kondisi luarbiasa tenang, bahagia, nyaman dan tidak berkesusahan. Disaat seperti itu, kita akan merasakan kehidupan kita seperti dua halaman dalam buku, satu halaman kegembiraan, satu lagi halaman kesusahan…tapi kedua halaman itu ada dihadapan kita, kita tidak ada di dalamnya.

Pernahkah anda mencoba melakukannya? Pernahkah anda mencoba memikirkan kesusahan dan kebencian anda disaat anda mengalami kesukaan luarbiasa? Beberapa orang pasti pernah, tapi bagi beberapa orang pasti merasakan betapa hal tersebut membuang-buang waktu, dan merusak suasana, kemudian berhenti memikirkannya, dan meninggalkan kebencian itu tergeletak sebagaimana adanya disana, beberapa orang tidak merasa rela untuk kehilangan waktu-waktu yang menyenangkan dengan memikirkan hal-hal yang menyakitkan hatinya lagi.

Pikirkan hal sebaliknya, bila kita berusaha bersusah payah mencoba memaafkan seseorang pada saat kita sendiri sedang bergumul dengan berbagai kesukaran, kesulitan hidup yang memenuhi hati dan pikiran kita…pasti keadaan akan semakin keruh dan buruk. Jangankan untuk memaafkan orang lain, memaafkan diri kita sendiri pasti akan terasa begitu sulitnya.

Waktu-waktu terbaikku untuk memaafkan adalah saat selesai mengikuti misa kudus atau perayaan Ekaristi yang memang sudah kuniatkan akan kuikuti…dengan kata lain, aku mengikuti perayaan Ekaristi bukan karena terpaksa atau kewajiban semata. (bagi teman-teman yang beragama muslim/lain, mungkin pada  saat usai Shalat atau waktu-waktu berdoa khusus lainnya)

Waktu-waktu setelah menjalani perayaan Ekaristi selalu merupakan waktu yang penuh keriangan, perasaan penuh sukacita, saat-saat seperti itulah yang ku gunakan untuk memanggil kembali kenangan-kenangan burukku, dan menampilkan tokoh-tokoh yang menjengkelkan kehadapanku, dengan membatasi diri untuk tidak tenggelam dalam kenangan dan kesedihan yang telah lalu, aku berusaha menempatkan sosok orang yang ‘bermasalah’ itu sebagai sosok manusia yang bisa ku bandingkan dengan diriku sendiri, ku biarkan dirinya hadir sebagai dirinya dan aku berada di sebelahnya sebagai diriku…saat itu aku mulai mencoba melihat secara bersamaan, ada berapa banyak kelebihan dan kekurangan diriku dan dirinya…dan saat sudah bisa mengumpulkan semua itu, hasil akhirnya umumnya sama antara aku dan dia…kami punya banyak kekurangan dan banyak kelebihan yang kadarnya dan porsinya berbeda-beda saat diletakkan di tempat yang berbeda, dalam permasalahan yang berbeda…., tapi ukuran dan berat timbangan akhirnya ternyata sama, aku tidak lebih baik dari dia, diapun tidak lebih baik dari aku sendiri….saat itulah aku mulai untuk memikirkan bagaimana kalau aku menerima dia sama seperti aku menerima diriku sendiri, mencoba memaklumi keadaannya seperti aku selalu berharap orang lain memaklumiku saat aku berbuat kesalahan.

Pada saat aku mulai bisa menerima dia sebagaimana adanya dia, dan hatiku bersedia menerima keadaan itu, maka bagiku proses memaafkan baru bisa di mulai…, pada kesempatan lain, pada saat aku punya waktu untuk membawanya dalam doa-doaku, aku mulai dengan tahapan selanjutnya dalam proses memaafkan, aku ikut mendoakan dirinya dalam doaku, aku berusaha melahirkan niat untuk tidak mengingat semua kesalahannya, karena bila aku mengingat kesalahannya sama dengan aku mengingat kesalahanku sendiri pada orang lain yang ‘sama’ porsinya dengan kesalahan dia….saat aku tidak mampu lagi mengingat kesalahannya, dan sosoknya hadir dalam doaku sebagai bayangan manusia biasa yang sama seperti aku, maka aku sudah mulai bisa memaafkannya dalam tingkatan yang lebih tinggi.

Sampai saat ini, cara itu yang aku gunakan untuk memulai proses memaafkan seseorang, dan aku merasa cara itu cukup efektif, dan karena suasana hati menjadi nyaman setiap kali selesai melalui proses tersebut, aku jadi suka dan mencari-cari waktu untuk melakukan itu lagi…waktu-waktu yang menyenangkan dalam hidupku jadi semakin nyaman untuk dinikmati dan dijalani….

Siapapun yang tertarik untuk mencobanya, silahkan…siapkan diri supaya kita cepat tahu kapan waktu-waktu terbaik kita datang, dan siapkan hati untuk memulainya….siapa tau, dari cara itu, akan ada metode baru lagi yang bisa dibagikan untuk di coba….

Siapa bilang memaafkan itu mudah? Siapa pula yang mau melakukannya dengan cuma-cuma dan tanpa pengorbanan? Semuanya kembali pada diri kita, apakah semua itu perlu dilakukan atau tidak, apakah bermanfaat bagi hidup kita atau nggak…tak ada paksaan untuk melakukannya, tapi pasti ada bonus kalau kita berhasil melakukannya….

Yang pasti yang aku tau dan rasakan…tidak ada ketenangan dan kedamaian saat kita masih menyimpan dendam, kemarahan, kebencian pada orang lain, tapi manakala sekali saja kita mampu memaafkan..kita akan terus rindu akan kenyamanan yang dihadirkan oleh keadaan itu…seperti kata mbak Anyes…mulailah berdamai dengan diri sendiri…caranya…silahkan pilih sendiri…:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun