Menteri Perdagangan Indonesia, Zulkifli Hasan, baru-baru ini mengumumkan perubahan strategis dalam kebijakan ekspor-impor Indonesia. Langkah tersebut melibatkan relokasi kendali atas barang impor dari di luar kawasan pabean (post-border) ke pabean (border).
Apa dampak kebijakan ini terhadap bisnis lokal dan perekonomian Indonesia kedepannya?
Kebijakan Impor Indonesia: Apa Yang Berubah?
Selama ini barang impor di Indonesia melalui pemeriksaan setelah melewati daerah pabean yang disebut post-border. Namun, perubahan kebijakan ini memastikan bahwa alur pemeriksaan tersebut kini akan diterapkan di perbatasan, sehingga memberikan pengawasan yang lebih besar dari pihak berwenang terhadap barang yang masuk ke Indonesia.
Selain itu, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, dan Polri akan berkolaborasi untuk menyempurnakan regulasi impor e-commerce, mempercepat revisi larangan dan pembatasan impor, serta mengatur lebih jauh peredaran barang dalam negeri.
Sesuai arahan Presiden, produk-produk yang sudah pasti akan diperketat alur masuknya adalah mainan anak-anak, barang-barang elektronik, alas kaki, kosmetik, tekstil, obat-obatan tradisional, pakaian jadi, dan tas.
Melindungi Industri Dalam Negeri
Alasan di balik perubahan kebijakan ini berakar perlindungan industri dalam negeri Indonesia dari tingginya arus masuk barang impor. Dengan memindahkan proses pemeriksaan ke perbatasan, pemerintah bermaksud untuk mengawasi dan mengatur barang impor yang masuk dengan lebih efektif, sehingga mencegah kebanjiran produk-produk luar negeri di pasar lokal.
Pergeseran kebijakan ini diharapkan akan menciptakan lapangan bermain yang lebih setara bagi perusahaan-perusahaan Indonesia, sehingga memungkinkan mereka untuk tumbuh dan berinovasi dalam lingkungan yang terlindungi.
Mendag sebelumnya telah memimpin pemusnahan barang impor ilegal senilai hampir Rp 50 miliar. Barang-barang tersebut mencakup pakaian bekas ilegal, serta berbagai komoditas seperti besi, barang elektronik, alat kesehatan, makanan, minuman, dan alat ukur yang tidak memiliki izin.Â
Daftar barang yang dimusnahkan juga mencakup mainan anak elektronik tanpa label Indonesia, kartu garansi, dan sertifikasi SNI.
Sementara itu, Komite Keamanan Perdagangan Indonesia saat ini sedang mengkaji langkah-langkah untuk mengatasi lonjakan impor benang filamen buatan dari Tiongkok.Â
Dilansir dari Bisnis.com, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengidentifikasi adanya selisih data impor sebesar USD 2,94 miliar dari  catatan BPS dengan data International Trade Center.
Implikasinya terhadap Kemitraan Dagang
Meskipun perubahan kebijakan ini terutama ditujukan untuk memperkuat industri lokal, penting pula untuk mempertimbangkan potensi dampaknya terhadap hubungan perdagangan internasional dan bahkan aktivitas ekspor Indonesia sendiri.Â
Data BPS menunjukkan bahwa pada bulan September, Tiongkok (USD 4,95 juta), Jepang (USD 1,21 juta), Korea Selatan (USD 0,79 juta), Thailand (USD 0,79 juta), dan Amerika Serikat (USD 0,68 juta) menempati posisi sebagai negara-negara pengimpor non migas terbesar ke Indonesia.Â
Pembatasan impor nantinya mungkin memerlukan negosiasi ulang dan diskusi dengan mitra dagang utama Indonesia saat ini.
Dilansir dari Kompas.id, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani, juga mengimbau kehati-hatian dalam penerapan kebijakan impor baru.Â
Berdasarkan data BPS, impor nonmigas terbesar tahun ini antara lain mesin dan peralatan mekanik (USD 23,59 juta), mesin dan peralatan listrik (USD 19,39 juta), besi dan baja (USD 8,59 juta), kendaraan & bagiannya (USD 7,97 M), dan plastik dan barang-barang dari plastik (USD 6,97 M).
Harapannya, pembatasan impor nanti tidak akan menghambat masuknya bahan baku penting, terutama yang mempengaruhi produksi dalam negeri dan percepatan ekspor ke negara lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H