Dilansir dari Bisnis.com, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengidentifikasi adanya selisih data impor sebesar USD 2,94 miliar dari  catatan BPS dengan data International Trade Center.
Implikasinya terhadap Kemitraan Dagang
Meskipun perubahan kebijakan ini terutama ditujukan untuk memperkuat industri lokal, penting pula untuk mempertimbangkan potensi dampaknya terhadap hubungan perdagangan internasional dan bahkan aktivitas ekspor Indonesia sendiri.Â
Data BPS menunjukkan bahwa pada bulan September, Tiongkok (USD 4,95 juta), Jepang (USD 1,21 juta), Korea Selatan (USD 0,79 juta), Thailand (USD 0,79 juta), dan Amerika Serikat (USD 0,68 juta) menempati posisi sebagai negara-negara pengimpor non migas terbesar ke Indonesia.Â
Pembatasan impor nantinya mungkin memerlukan negosiasi ulang dan diskusi dengan mitra dagang utama Indonesia saat ini.
Dilansir dari Kompas.id, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani, juga mengimbau kehati-hatian dalam penerapan kebijakan impor baru.Â
Berdasarkan data BPS, impor nonmigas terbesar tahun ini antara lain mesin dan peralatan mekanik (USD 23,59 juta), mesin dan peralatan listrik (USD 19,39 juta), besi dan baja (USD 8,59 juta), kendaraan & bagiannya (USD 7,97 M), dan plastik dan barang-barang dari plastik (USD 6,97 M).
Harapannya, pembatasan impor nanti tidak akan menghambat masuknya bahan baku penting, terutama yang mempengaruhi produksi dalam negeri dan percepatan ekspor ke negara lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H