Pertengahan Oktober lalu, saya mendapat tamu dari Majalengka. Seorang survivor sekaligus backpacker dan pegiat agraria yang banyak menghabiskan waktunya di gunung dan hutan belantara. Kami memiliki waktu yang panjang untuk berbagi cerita karena kebetulan beliau memiliki rencana untuk mendaki gunung bersama saya saat itu.
Cerita beliau dimulai ketika kami memasuki pintu hutan. Sembari melihat tanaman kol milik warga, beliau bercerita mengenai potensi yang ada di Majalengka, khususnya Majalengka bagian selatan.
Saya terkejut ketika beliau bercerita soal rata-rata mata pencaharian masyarakatnya adalah pengrajin. Padahal Majalengka merupakan daerah yang subur mengingat banyaknya gunung yang mengelilinginya. Mulai dari gunung Ciremai yang terkenal, hingga gunung Panjang yang baru-baru ini mendapatkan perhatian dari pegiat alam disekitarnya.
Seolah menjawab rasa terkejut saya, beliau mulai bercerita mengenai mengapa penduduk Majalengka memilih untuk menjadi pengrajin daripada mengolah sumber daya ke arah pertanian.
"Indonesia itu lucu. Nggak usah bicara Indonesia, terlalu luas. Majalengka saja sudah banyak kehilangan petani padahal disana subur banget. Banyak yang berfikir soal betapa sengsaranya menjadi petani."
Padahal kita ini makan nasi, makan sayur. Kalong gak ada yang mau jadi petani, memang dokter mau ngasih kita padi? Ngasih sayur?". Terhenyak saya mendengar pernyataan yang beliau utarakan. Sedikit banyak juga tertampar. Lucu memang, saya pun juga mengamini pernyataan sederhana tersebut; saya sekolah tinggi-tinggi juga karena tidak mau jadi petani!
Doktrin revolusi industri mengenai perubahan besar-besaran dalam segala aspek sedikit banyak juga mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia mengenai cluster pekerjaan yang harus dirancang sedini mungkin. Petani dan pekerjaan lain yang identik dengan 'pekerjaan kasar' dianggap tidak menguntungkan dan tidak mensejahterakan.
Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor tidak produktifnya petani Indonesia. Banyak petani yang kemudian memilih hengkang dari mata pencaharian nya karena memang pada dasarnya petani Indonesia tidak diberikan kesempatan dan ruang untuk terus meningkatkan produktivitas dan kapabilitasnya.
Sebagai contoh, adanya PPL di Majalengka bagian selatan, khususnya di Kecamatan Cingambul, yang perannya dirasa kurang maksimal disebabkan oleh minimnya komunikasi dan sosialisasi terhadap warga. Ini yang kemudian juga membuat petani yang pada awalnya hanya memiliki skill yang terbatas, menjadi semakin terbelakang dan sulit meningkatkan produtivitasnya. Akibatnya, hasil panen tidak dapat diandalkan dan stigma petani jauh dari kata sejahtera semakin tebal.
Pemerintah sebenarnya tengah berupaya mengatasi masalah pertanian dari hulu ke hilir. Seperti Oktober lalu, pemerintah tengah mengkaji wacana transformasi subsidi pupuk menjadi subsidi langsung untuk petani melalui Kartu Tani. Menurut Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, kartu ini bertujuan untuk memastikan subsidi tepat sasaran kepada petani.
Harapannya, kartu ini dapat mengurangi penyalahgunaan pupuk bersubsidi. Selain itu, ia juga berharap dengan adanya kartu, penyerapan dan distribusi pupuk dapat terpantau.