"Pernah memasukkan tongkat kayu yang tersulut api ke dalam tangki kompor minyak yang berisi minyak tanah?" Ya. Pengalaman menantang maut tersebut pernah saya lakukan.
Dengan akal yang baru berusia sepuluh tahun, saat itu yang saya pikirkan adalah "seberapa cepat ya, api bisa menyebar?" Tak perlu menunggu lama, pertanyaan saya terjawab langsung sesaat setelah saya memasukkan kayu yang sudah tersulut api ke dalam tangki. Ternyata cepat sekali!
Tentu saja saya panik walaupun terjawab sudah pertanyaan aneh ini. Buru-buru saya tiup dengan keras lubang yang sudah dipenuhi nyala oranye selama beberapa detik. Fuh! Pengalaman tadi menunjukkan betapa bodoh dan cerobohnya anak-anak di usia sekolah dasar.Â
Dibilang tidak tahu ya sebenarnya tahu, tapi kok kayak pura-pura nggak tau? Bagi orang dewasa, saya yakin fenomena seperti ini pasti sulit dimengerti. Padahal bagi anak, pengalaman dan pemikiran bodoh nan ceroboh seperti ini tidak hanya tentang logika kausalitas (kalau begini kenapa-kalau begitu kenapa). Baru-baru ini saya menyadari, bahwa pengalaman bodoh dan ceroboh yang kerap ditunjukkan anak-anak di usia ini sebenarnya pertunjukan alami, atas aset 'kasar' yang mereka punya.
Aset itu adalah "curiosity" atau keingintahuan. Penelitian tentang 'curiosity' bagi saya menarik, salah satunya fakta bahwa keberadaan keingintahuan ternyata sama pentingnya dengan intelejensi. Sementara intelejensi merupakan kapasitas berfikir (reasoning), keingintahuan bertugas menyiapkan 'otak' untuk berfikir dan mempelajari hal baru.Â
Ketika seseorang 'penasaran' dengan sesuatu, otak (lebih tepatnya hipokampus dan pusat memori) berada dalam mode "siap" menerima informasi. Rasa penasaran membuat proses belajar terasa lebih memuaskan dan mengenyangkan. Semakin seseorang penasaran, semakin membuat proses dan hasil belajar menjadi memorable. Pengetahuan yang didapat akan lebih permanen untuk diingat.
Masih perkara curiosity, saat ini saya berprofesi sebagai guru. Saya pernah mengajar seorang anak, namun tiba-tiba ia mengeluarkan ingus cukup panjang yang kemudian ia mainkan. Diusapnya ingus itu ke baju saya. Ia kemudian tertawa dan berkata "Hahaha, ingus! ingus!" Jujur, saat itu situasinya memang membuat dongkol karena ulahnya sudah bukan sekali dua kali. Pada pertemuan lain, ia pernah menembak saya dengan peluru mainan dari ketapel buatannya sendiri.Â
Setelahnya, dengan gaya berbicara yang melompat-lompat, ia menjelaskan kepada saya tentang gaya pegas sambil masih memegang ketapelnya. Baru-baru ini saya paham, bahwa perilaku di luar nalar yang kerap ia lakukan itu adalah bentuk aset yang masih kasar, belum di asah. Jika saja saya menyerah untuk lebih memahami dia, saya pasti kehilangan kesempatan untuk mengenal ia sebagai anak yang suka bertanya dan banyak ide. Ia adalah karakter anak yang tiba-tiba bertanya "Miss, bisakah kita mencari puing-puing peninggalan Atlantis melalui sensor sonar?" atau tiba-tiba menjelaskan cara kerja scanner di mesin fotokopi.
Melabeli anak dengan bodoh, ceroboh, atau nakal, hanyalah pelabelan pendidik yang hanya melihat dari permukaan. Padahal, jelas-jelas banyak ahli menyebut, curiosity (keingintahuan) berkaitan erat dengan exploration (eksplorasi) dan risk-taking (pengambilan risiko). Maka, sudah pasti akan banyak terjadi hal bodoh, ide gila, dan kecerobohan, setiap kali mereka (baca: anak-anak) sedang menuntaskan rasa penasarannya. Sesuatu hal yang alamiah yang sebenarnya tak perlu terlalu digusarkan orang dewasa.
Bak akar, kemampuan kasar ini memang tumbuh cepat dan tak tentu arah. Sama sekali tak berbahaya ketika tumbuh di tempat yang terawat. Saya pikir, yang terpenting ialah memiliki tempat aman untuk  menciptakan kesalahan dan kecerobohan. Sebab keduanya memanglah kawasan bermain yang menyediakan kesempatan belajar bagi anak.Â