Oleh karena pendidikan adalah agenda kolaboratif, maka perlu ada pemahaman yang serupa dan menyeluruh bagi seluruh tonggak pendidikan terhadap kebebasan belajar. Bisakah orang tua menerima cara kerja belajar mereka yang terkadang 'nakal' dan melelahkan? Sabarkah guru memfasilitasi mereka untuk menuntaskan rasa ingin tahunya? Bagaimana penyelenggara pendidikan mengayomi the perfectly-imperfections, gaya belajar anak-anak yang sama sekali bebas dan jenaka?Â
Biarkan mereka memiliki energi bebas untuk mencari tahu apapun yang ia sukai; tak terbatas sekat tembok, halaman buku, dan ujung papan tulis. Mau belajar tentang robot? Tumbuhan? Otak manusia? Virus? Air laut yang asin? Kepiting? Bebas. Mau dari Youtube? Buku? Diskusi? Studi berbasis proyek? Bebas juga. Mengusung frasa Merdeka Belajar, menurut saya adalah konsep pendidikan dengan falsafah paling humanis semasa saya hidup sebagai pembelajar di Indonesia.Â
Mengayomi proses, merawat potensi. Ekosistem Merdeka Belajar yang diusung Kemendikbud benar-benar menjunjung tinggi cita para pembelajar. Tak hanya sekedar jargon, Semarak Merdeka Belajar kini adalah gaung semangat belajar yang interaktif, inklusif, dan menyenangkan. Sekaligus merupakan angin segar bagi mereka yang asetnya pernah sempat terpenjara dari ketakutan belajar bebas dan bereksplorasi.Â
Kini belajar sudah semakin nyaman dan tak terbatas. Saya mendadak teringat konsep Ki Hadjar Dewantara di mana asah, asih, dan asuh, adalah kawan ideal yang mengiringi proses belajar. Keingintahuan adalah proses pikir jenaka khas anak-anak yang masih merupakan aset liar. Ia masih perlu diasah, dengan kasih sayang (asih) dan perawatan (asuh) sepenuh hati, supaya pengetahuan tetap pada hakekatnya; terus bertumbuh dengan bebas, luas, dan bermanfaat. Utamanya di negeri tercinta ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H