Mohon tunggu...
Askia Rahma
Askia Rahma Mohon Tunggu... Guru - Behavioral Therapist

Menghabiskan waktu senggang dengan bermain musik, menulis, dan menyeruput susu hangat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bodoh dan Ceroboh: Memahami Kejenakaan Anak dalam Proses Belajarnya

31 Mei 2023   23:43 Diperbarui: 31 Mei 2023   23:48 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pernah memasukkan tongkat kayu yang tersulut api ke dalam tangki kompor minyak yang berisi minyak tanah?" Ya. Pengalaman menantang maut tersebut pernah saya lakukan.

Dengan akal yang baru berusia sepuluh tahun, saat itu yang saya pikirkan adalah "seberapa cepat ya, api bisa menyebar?" Tak perlu menunggu lama, pertanyaan saya terjawab langsung sesaat setelah saya memasukkan kayu yang sudah tersulut api ke dalam tangki. Ternyata cepat sekali!

Tentu saja saya panik walaupun terjawab sudah pertanyaan aneh ini. Buru-buru saya tiup dengan keras lubang yang sudah dipenuhi nyala oranye selama beberapa detik. Fuh! Pengalaman tadi menunjukkan betapa bodoh dan cerobohnya anak-anak di usia sekolah dasar. 

Dibilang tidak tahu ya sebenarnya tahu, tapi kok kayak pura-pura nggak tau? Bagi orang dewasa, saya yakin fenomena seperti ini pasti sulit dimengerti. Padahal bagi anak, pengalaman dan pemikiran bodoh nan ceroboh seperti ini tidak hanya tentang logika kausalitas (kalau begini kenapa-kalau begitu kenapa). Baru-baru ini saya menyadari, bahwa pengalaman bodoh dan ceroboh yang kerap ditunjukkan anak-anak di usia ini sebenarnya pertunjukan alami, atas aset 'kasar' yang mereka punya.

Aset itu adalah "curiosity" atau keingintahuan. Penelitian tentang 'curiosity' bagi saya menarik, salah satunya fakta bahwa keberadaan keingintahuan ternyata sama pentingnya dengan intelejensi. Sementara intelejensi merupakan kapasitas berfikir (reasoning), keingintahuan bertugas menyiapkan 'otak' untuk berfikir dan mempelajari hal baru. 

Ketika seseorang 'penasaran' dengan sesuatu, otak (lebih tepatnya hipokampus dan pusat memori) berada dalam mode "siap" menerima informasi. Rasa penasaran membuat proses belajar terasa lebih memuaskan dan mengenyangkan. Semakin seseorang penasaran, semakin membuat proses dan hasil belajar menjadi memorable. Pengetahuan yang didapat akan lebih permanen untuk diingat.

Masih perkara curiosity, saat ini saya berprofesi sebagai guru. Saya pernah mengajar seorang anak, namun tiba-tiba ia mengeluarkan ingus cukup panjang yang kemudian ia mainkan. Diusapnya ingus itu ke baju saya. Ia kemudian tertawa dan berkata "Hahaha, ingus! ingus!" Jujur, saat itu situasinya memang membuat dongkol karena ulahnya sudah bukan sekali dua kali. Pada pertemuan lain, ia pernah menembak saya dengan peluru mainan dari ketapel buatannya sendiri. 

Setelahnya, dengan gaya berbicara yang melompat-lompat, ia menjelaskan kepada saya tentang gaya pegas sambil masih memegang ketapelnya. Baru-baru ini saya paham, bahwa perilaku di luar nalar yang kerap ia lakukan itu adalah bentuk aset yang masih kasar, belum di asah. Jika saja saya menyerah untuk lebih memahami dia, saya pasti kehilangan kesempatan untuk mengenal ia sebagai anak yang suka bertanya dan banyak ide. Ia adalah karakter anak yang tiba-tiba bertanya "Miss, bisakah kita mencari puing-puing peninggalan Atlantis melalui sensor sonar?" atau tiba-tiba menjelaskan cara kerja scanner di mesin fotokopi.

Melabeli anak dengan bodoh, ceroboh, atau nakal, hanyalah pelabelan pendidik yang hanya melihat dari permukaan. Padahal, jelas-jelas banyak ahli menyebut, curiosity (keingintahuan) berkaitan erat dengan exploration (eksplorasi) dan risk-taking (pengambilan risiko). Maka, sudah pasti akan banyak terjadi hal bodoh, ide gila, dan kecerobohan, setiap kali mereka (baca: anak-anak) sedang menuntaskan rasa penasarannya. Sesuatu hal yang alamiah yang sebenarnya tak perlu terlalu digusarkan orang dewasa.

Bak akar, kemampuan kasar ini memang tumbuh cepat dan tak tentu arah. Sama sekali tak berbahaya ketika tumbuh di tempat yang terawat. Saya pikir, yang terpenting ialah memiliki tempat aman untuk  menciptakan kesalahan dan kecerobohan. Sebab keduanya memanglah kawasan bermain yang menyediakan kesempatan belajar bagi anak. 

Oleh karena pendidikan adalah agenda kolaboratif, maka perlu ada pemahaman yang serupa dan menyeluruh bagi seluruh tonggak pendidikan terhadap kebebasan belajar. Bisakah orang tua menerima cara kerja belajar mereka yang terkadang 'nakal' dan melelahkan? Sabarkah guru memfasilitasi mereka untuk menuntaskan rasa ingin tahunya? Bagaimana penyelenggara pendidikan mengayomi the perfectly-imperfections, gaya belajar anak-anak yang sama sekali bebas dan jenaka? 

Biarkan mereka memiliki energi bebas untuk mencari tahu apapun yang ia sukai; tak terbatas sekat tembok, halaman buku, dan ujung papan tulis. Mau belajar tentang robot? Tumbuhan? Otak manusia? Virus? Air laut yang asin? Kepiting? Bebas. Mau dari Youtube? Buku? Diskusi? Studi berbasis proyek? Bebas juga. Mengusung frasa Merdeka Belajar, menurut saya adalah konsep pendidikan dengan falsafah paling humanis semasa saya hidup sebagai pembelajar di Indonesia. 

Mengayomi proses, merawat potensi. Ekosistem Merdeka Belajar yang diusung Kemendikbud benar-benar menjunjung tinggi cita para pembelajar. Tak hanya sekedar jargon, Semarak Merdeka Belajar kini adalah gaung semangat belajar yang interaktif, inklusif, dan menyenangkan. Sekaligus merupakan angin segar bagi mereka yang asetnya pernah sempat terpenjara dari ketakutan belajar bebas dan bereksplorasi. 

Kini belajar sudah semakin nyaman dan tak terbatas. Saya mendadak teringat konsep Ki Hadjar Dewantara di mana asah, asih, dan asuh, adalah kawan ideal yang mengiringi proses belajar. Keingintahuan adalah proses pikir jenaka khas anak-anak yang masih merupakan aset liar. Ia masih perlu diasah, dengan kasih sayang (asih) dan perawatan (asuh) sepenuh hati, supaya pengetahuan tetap pada hakekatnya; terus bertumbuh dengan bebas, luas, dan bermanfaat. Utamanya di negeri tercinta ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun