Selama ini Suku Bajo dikenal sebagai pelaut tangguh dan nelayan yang hidupnya berpindah-pindah dan selalu memiliki rumah panggung. Di pesisir Maumere ada tempat yang unik untuk travel yaitu pemukiman nelayan perkampungan Suku Bajo yang mirip dengan aslinya di Sulawesi Tenggara.
Kalau ingin melihat perkampungan yang berbeda di atas laut hanya ada di Kampung Wuring sekitar empat kilometer sebelah timur dari Maumere. Sudah lama terkenal dengan pemukiman rumah panggung yang mirip dengan rumah terapung. Di bawah kolong rumah panggung tersebut banyak parkir perahu nelayan yang digunakan untuk menangkap ikan.
Masing-masing rumah dihubungkan oleh jembatan yang terbuat dari bambu. Saya berjalan-jalan di antara rumah-rumah panggung yang dihubungkan dengan jembatan dengan lebar satu meter dan tanpa pagar. Sehingga bagi wisatawan yang pertama kali datang kesini harus hati-hati melangkah agar tidak tercebur ke laut.
Semua aktivitas kehidupan rumah tangga mulai mencuci dan memasak dilakukan di atas laut karena rumah mereka semuanya di atas laut dengan dinding dan dasar rumah sebagian besar terbuat dari anyaman bambu. Tiang penyangga rumahnya agar kuat ada beberapa dari beton semen atau kayu ulin yang bediameter besar setinggi tiga meter di atas laut. Rumah yang dibangun harus dengan struktur yang sangat kuat agar tidak mudah keropos dengan air laut yang asin.
Penduduknya sangat ramah dan sudah terbiasa dikunjungi wisatawan. Saya mencoba masuk ke salah satu rumah Bajo melihat mebel rumah tangga mereka lengkap seperti layaknya rumah biasa, dengan alat elektronik televisi. Yang membedakan hanya kamar mandi tidak ada kakus dan semua kotoran manusia langsung dibuang ke laut.
Masyarakat nelayan Kampung Wuring menjadikan birunya laut sebagai pekarangan rumah mereka. Para laki-laki bertugas mencari ikan di laut dan para wanita bagian menjual ikan di tempat lelang ikan atau di pasar ikan. Masyarakat pendatang memang membuat kampung ini berbeda dengan kampung lainnya, sehingga pemukiman mereka terasa lebih unik dan menarik berada di tanah Flores yang selama ini hidup masyarakatnya di darat
Melihat anak-anak kecil mendayung sendiri perahunya dan berenang dengan meloncat dari ketinggian adalah hal biasa di kampung ini. Berada di Kampung Wuring serasa bukan di Flores tetapi serasa di kampung aslinya Suku Bajo di Sulawesi Tenggara. Di antara rumah-rumah panggung kelihatan ada jaring ikan digantung dan ikan dijemur sehingga suasana kampung nelayan sangat terasa.#Liputan6
Di ujung kampung dibangun sebuah tempat ibadah berbentuk musala untuk beribadah yang tampak sepintas seperti mengapung di air. Musala terapung yang baru selesai direnovasi ini selain menjadi tempat kegiatan rohani juga menampilkan eksotisitas tertentu bagi para pengunjung. Lokasinya yang berada benar-benar di ujung perkampungan membuat sholat disini serasa sholat di sebuah pulau yang berbeda.
Keunikan Kampung Wuring semakin terasa kala mengetahui bahwa penduduk aslinya bukanlah orang Maumere. Mereka bukan penduduk asli, tetapi sudah lama diterima sebagai tetangga oleh warga asli suku Sikka. Suku Bajo dan ada beberapa dari Bugis yang sebagian besar Muslim bisa selalu menjaga kerukunan antar umat beragama di tengah penduduk Maumere yang mayoritas beragama Katolik.
Dari beberapa cerita dengan penduduk setempat , dapat diketahui bahwa orang-orang Bajo yang menetap di Wuring berasal dari salah satu kerajaan di Sulawesi Selatan. Mereka bermigrasi ke daerah pantai utara Flores sejalan dengan upaya penyebaran agama Islam berdagang. Suku Bajo yang hidup secara berpindah dan merantau di Kampung Wuring sekitar tahuan 1900 an mulai ada.
Kampung Wuring dipilih menjadi tempat tinggal karena letaknya yang strategis dekat dengan pelabuhan dan identik dengan orang-orang Bajo yang menggantungkan hidup pada hasil laut. Kampung Wuring menjadi pusat perdagangan. Percakapan antar keluarga di kampung ini saya dengar juga masih menggunakan bahasa asal mereka yaitu bahasa Bugis bukan bahasa Maumere.