Untuk motifnya, terdapat beberapa jenis yang khas berupa motif binatang laut. Mungkin karena nenek moyang etnis Sikka yang dulunya adalah pelaut ulung dan mereka menetap di pesisir sehingga mempengaruhi motif kain tenunnya. Tak heran motif, perahu, udang, atau kepiting menjadi ciri khas motif kain tenun Sikka.
Di Desa Sikka pemasaran kain tenun masih dengan cara tradisional. Apabila ada wisatawan datang, mama-mama pengrajin tenun akan datang beramai-ramai menggelar dagangannya dengan menggelar kainnya di atas sebatang bambu yang sudah disiapkan di dekat pantai Istana Bekas Kerajaan Sikka.
Bagi yang tidak berkocek tebal tapi tetap ingin punya souvenir tenun, sekarang mama-mama di Sikka sudah kreatif membuat selendang kecil sekitar Rp 100.000.
Ada ungkapan dalam bahasa Sikka: " Ami nulung lobe. Naha utang wawa buku ubeng. Naha utang merah blanu, blekot  " yang artinya kami tidak memakai sarung murahan, harus sarung dari dasar tempat simpan, harus sarung yang merah, mantap, dan bermutu.
Ungkapan itu mengandung pengertian, sarung yang dikenakan seorang perempuan menunjukkan kepribadian pemakainya. Sarung yang dipakai bukan sarung biasa. Ini menunjukkan pemakainya bukan sembarangan, melainkan orang berwibawa, bermutu, dan berkepribadian baik.
Kain tenun  Flores dibuat dengan cinta oleh mama-mama yang secara turun menurun tanpa pamrih bekerja menenun. Kain buatan tangan dengan puluhan motif yang bernilai seni tinggi dan indah ini tidak akan habis dilekang waktu. Meski dibutuhkan ketekunan dan kesabaran untuk menghasilkan sehelai kain tenun  di mana hampir semua proses pembuatan kain ikat tersebut dilakukan secara tradisional.
Sejak dulu kain tenun  telah digunakan sebagai pakaian sehari-hari masyarakat setempat sebagai simbol status, kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan bagi pemakainya. Belakangan simbol-simbol ini semakin memudar apalagi kini kain tenun sekarang sudah banyak dijual di luar Pulau Flores. Kain tenun sudah banyak di modifikasi menjadi jas, kemeja dan rok wanita dan sudah banyak dijual di pusat pertokoan di Jakarta.
Tetapi bagi  masyarakat Flores, kain tenun akan dipakai sejak lahir sampai mati. Ketika masih bayi digendong ibunya dengan kain tenun. Mengompol pun di kain tenun yang dipakai ibunya. Anak perempuan Flores  yang beranjak dewasa ditandai dengan datang bulan dan mereka diwajibkan mengenakan kain serta memanjangkan rambutnya agar dapat dikonde.
Saat mereka hendak menikah di pedesaan, mereka  harus bisa membuat kain  tenun sendiri untuk keperluan pernikahan atau untuk diberikan kepada calon mempelai pria sebagaimana aturan adat dahulu kala.