Mohon tunggu...
Asita Suryanto
Asita Suryanto Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveler

Koresponden Kompas di Jatim (1983-1986) Wartawan Tabloid Nova (1986- 1989) Peneliti Litbang Kompas (1990-2002) Penulis buku travel (2010-sekarang)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jangan Lewatkan Melihat Proses Menenun Ketika Pergi ke Flores

2 Januari 2018   21:40 Diperbarui: 3 Januari 2018   18:55 2815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk motifnya, terdapat beberapa jenis yang khas berupa motif binatang laut. Mungkin karena nenek moyang etnis Sikka yang dulunya adalah pelaut ulung dan mereka menetap di pesisir sehingga mempengaruhi motif kain tenunnya. Tak heran motif, perahu, udang, atau kepiting menjadi ciri khas motif kain tenun Sikka.

Kain tenun dijemur supaya awet (dok pribadi)
Kain tenun dijemur supaya awet (dok pribadi)
Saya perhatikan ada pula corak kotak, segitiga, bujur sangkar dan corak ayam jago. Terdapat pula jenis motif  bunga yang dihiasi dengan corak bunga mawar. Konon, motif ini merupakan motif khas yang khusus diperuntukkan bagi putri-putri Kerajaan Sikka. Motif ini kini menjadi favorit kaum perempuan. Saya juga sengaja membeli kain tenun berwarna kecoklatan bermotif mawar yang dipakainya lebih cocok untuk pesta perkawinan.

Di Desa Sikka pemasaran kain tenun masih dengan cara tradisional. Apabila ada wisatawan datang, mama-mama pengrajin tenun akan datang beramai-ramai menggelar dagangannya dengan menggelar kainnya di atas sebatang bambu yang sudah disiapkan di dekat pantai Istana Bekas Kerajaan Sikka.

Bagi yang tidak berkocek tebal tapi tetap ingin punya souvenir tenun, sekarang mama-mama di Sikka sudah kreatif membuat selendang kecil sekitar Rp 100.000.

Ada ungkapan dalam bahasa Sikka: " Ami nulung lobe. Naha utang wawa buku ubeng. Naha utang merah blanu, blekot  " yang artinya kami tidak memakai sarung murahan, harus sarung dari dasar tempat simpan, harus sarung yang merah, mantap, dan bermutu.

Ungkapan itu mengandung pengertian, sarung yang dikenakan seorang perempuan menunjukkan kepribadian pemakainya. Sarung yang dipakai bukan sarung biasa. Ini menunjukkan pemakainya bukan sembarangan, melainkan orang berwibawa, bermutu, dan berkepribadian baik.

Kain tenun  Flores dibuat dengan cinta oleh mama-mama yang secara turun menurun tanpa pamrih bekerja menenun. Kain buatan tangan dengan puluhan motif yang bernilai seni tinggi dan indah ini tidak akan habis dilekang waktu. Meski dibutuhkan ketekunan dan kesabaran untuk menghasilkan sehelai kain tenun  di mana hampir semua proses pembuatan kain ikat tersebut dilakukan secara tradisional.

Penari dengan sarung tenun ikat di sanggar Leppo Larun Flores (dok pribadi)
Penari dengan sarung tenun ikat di sanggar Leppo Larun Flores (dok pribadi)
Bayangkan cara melakukan  proses pewarnaan alam dari daun nila dan mengkudu yang rumit untuk kain tenun pewarna alam. Untuk mendapatkan  warna indigo kain tenun, benangnya harus dicelup kedalam pasta nila sebanyak 30 kali. Untuk  warna merah mengkudu benangnya dicelupkan hingga 25-30 kali pencelupan. Butuh waktu berbulan-bulan bahkan sampai satu tahun untuk proses pewarnaan alam yang dilakukan mama-mama penenun aar warna tenun alami bertahan  hingga puluhan tahun.Kalau menenun tanpa cinta, proses pewarnaan alami tidak akan selesai.

Sejak dulu kain tenun  telah digunakan sebagai pakaian sehari-hari masyarakat setempat sebagai simbol status, kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan bagi pemakainya. Belakangan simbol-simbol ini semakin memudar apalagi kini kain tenun sekarang sudah banyak dijual di luar Pulau Flores. Kain tenun sudah banyak di modifikasi menjadi jas, kemeja dan rok wanita dan sudah banyak dijual di pusat pertokoan di Jakarta.

Tetapi bagi  masyarakat Flores, kain tenun akan dipakai sejak lahir sampai mati. Ketika masih bayi digendong ibunya dengan kain tenun. Mengompol pun di kain tenun yang dipakai ibunya. Anak perempuan Flores  yang beranjak dewasa ditandai dengan datang bulan dan mereka diwajibkan mengenakan kain serta memanjangkan rambutnya agar dapat dikonde.

Saat mereka hendak menikah di pedesaan, mereka  harus bisa membuat kain  tenun sendiri untuk keperluan pernikahan atau untuk diberikan kepada calon mempelai pria sebagaimana aturan adat dahulu kala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun