Mohon tunggu...
Asita Suryanto
Asita Suryanto Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveler

pecinta traveling dan kuliner

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ubud Membawaku Ke Lorong Aspirasi Seni dan Budaya

7 November 2015   07:48 Diperbarui: 8 November 2015   00:08 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pelukis Antonio Blanco ketika masih hidup . (sumber: by ita DK repro foto di museum)"][/caption]

Hanya menyebut Ubud pikiran saya langsung melayang tentang seni, budaya, alam, sawah, dan pura yang membangkitkan semangat tentang tempat surga liburan di Pulau Bali. Sebelum datang ke Bali saja otak sudah merekam tentang budaya sesajen, asap dupa dan bunga kamboja di telinga seolah memasuki lorong dunia lain.

Liburan yang diselenggarakan Kompasiana dan Kementrian  Pariwisata ini yang membawa saya dalam rombongan 10 orang Kompasioner Pesona Budaya ke Ubud selama dua malam . Ubud membawa pikiran saya tentang suasana hati yang tentram dan aspirasi budaya.Ini benar-benar pesona indonesia yang harus didatangi semua turis bila berkunjung ke Bali wajib mengunjungi Ubud sebagai tujuan utama.

[caption caption="Dok. Pri"]

[/caption]

Membaca jadwal perjalanan selama dua hari dari panitia yang didominasi kegiatan wisata budaya, seni, sejarah dan workshop kriya terasa sangat padat jadwalnya yaitu:
Hari I: Perjalanan ke Museum Antonio Blanco dan menonton tari kecak
Hari II: Menuju Goa Gajah, workshop mengukir kayu di Ubdy, membuat layang-layang dan Hotel Visit Courtyard by Marriot Seminyak yang sekaligus sebagai tempat Kompasioner menginap selama di Bali serta makam malam di Hotel Anantara.

Menghabiskan hari pertama di Ubud dengan berkunjung ke Museum Antonio Blanco dan menonton tari kecak seolah menjadi mimpi dari kenyataan tentang keberadaan saya di Bali yang melalaui perjuangan panjang perjalanan darat mulai dari Jakarta sampai Denpasar. Jadi perjalanan selama lebih 24 jam itu langsung sirna diganti kebahagiaan karena benar-benar saya sudah menginjakkan kaki di Ubud bersama rombongan Kompasioner. Baca tulisan saya sebelumnya ini.

[caption caption="Dok. Pri"]

[/caption]

Memasuki Museum Antonio Blanco melalui sebuah pintu masuk kecil berbentuk bulan, kemudian kami berjalan hingga tiba di tempat penerimaan tamu. Masuk melewati sebuah pintu gerbang yang besar terdapat halaman luas yang lokasinya tepat diatas bukit tepi sungai Campuhan di daerah perbukitan yang sejuk dan tenang.

Museum Antonio Blanco ini sendiri mempunyai arsitektur bangunan yang indah, dengan desain bangunan bergaya Eropa yang unik membentuk suatu ruangan yang mengagumkan. Meski demikian, berbagai ornamen khas Bali, tetap menjadi ciri khas dari museum ini ditambah dengan cahaya lampu dan lukisan yang khas membuat ruangan berlantai dua ini semakin cantik

Pintu utama museum dengan warna kuning emas menyambut kami, sementara ruang utamanya berlantaikan marmer dengan tiang-tiang bulatnya yang besar. Tangga marmer yang simteris akan membawa kita ke lantai atas, sementara di dinding ruang utama ini, dipajang puluhan lukisan dalam berbagai ukuran.“Di dalam ruangan dilarang untuk mengambil gambar”, demikian pesan pegawai museum wanita yang mengenakan kebaya Bali . Banyak tulisan di daalam ruangan  yang tidak memperbolehkan kita mengambil foto lukisan  Antonio Blanco yang dilahirkan di Manila dan pertama kali datang ke Bali di sekitar tahun 1952 itu.

[caption caption="Adegan tari kecak dengan acara hanoman berubah wajah dan menginjakkan kaki di atas bara api by Ita DK"]

[/caption]

Mengamati lukisan Blanco, saya terkesan tentang api cinta Blanco kepada istrinya Ni Rondji karena hampir semua lukisan merupakan lukisan wajah istri tercintanya dalam keadaan tanpa busana dalam berbagai ukuran dan posisi.  Sebagian besar lukisan-lukisan hasil karya sang maestro bertemakan wanita Bali atau istrinya yang bertelanjang dada dengan nilai seni yang tinggi sehingga tidak terkesan pornografi. Sekitar 150 karya seni yang didominasi keindahan fisik kaum perempuan di Bali. Rupanya Antonio Blanco terinspirasi dengan kebiasaan wanita Bali masa lampau yang suka bekerja keras dan berjalan jauh dengan tangan terangkat menjunjung barang di atas kepala sehingga menjadikan bentuk payudara wanita Bali  sangat indah.

 Untuk masuk ke museum, wisatawan domestik harus merogoh kocek Rp. 30.000 per orang. Sedangkan untuk wisatawan manca negara, dikenai tarif lebih mahal, yaitu Rp. 80.000.  Di sini, setiap pengunjung mendapat minuman selamat datang segelas minuman dingin jambu yang bisa dinikmati sambil bercengkerama dengan burung-burung kakatua. Jika berani, pengunjung bisa berfoto dengan burung-burung itu. Kami memasuki pintu berbentuk lingkaran, seperti bulan.Museum yang dibangun pada 28 Desember 1998 itu tersimpan sekitar 150 karya seni yang didominasi keindahan fisik kaum perempuan di Bali.

[caption caption="Tari kecak dengan cerita episode Ramayana Rama dan Sita by Ita DK"]

[/caption]

Banyak kolektor seni yang menghargai karya Antonio Blanco, di antaranya Michael Jackson, yang secara khusus dibuatkan lukisanya oleh Blanco sewaktu mereka bertemu di Singapura di tengah nkonser musik. Ternyata Blanco suka warna musik Michael Jackson sampai sewaktu konsernya di tahun 1993 sengaja terbang ke Singapura untuk menyaksikan secara langsung konsernya dan melukis wajahnya.

Bakat lukis Antonio Blanco menurun pada anaknya, Mario Blanco. Hanya saja hasil karya Mario Blanco lebih banyak bersumber dari pemikiran di sekitarnya, seperti alam dan lingkungan. Sebagai suvenir, pengunjung bisa membeli foto lukisan Antonio Blanco yang ditandatangani asli oleh Mario Blanco, anak laki-lakinya. Menjelang pintu keluar, terdapat toko souvenir yang menjual kerajinan perak yang didesain oleh anak perempuan Blanco. Selain wisatawan domestik, museum yang berlokasi di atas bukit tepi Sungai Campuhan, Ubud, itu selama ini sering kali dikunjungi wisatawan mancanegara dari Australia, Prancis, Amerika dan Jepang.

Setelah puas mengunjungi Museum Antonio Blanco kami melanjutkan perjalanan ke acara seni menonton tari kecak di Batu Bulan dengan harga tiket masuk per orang Rp 100.000. Malam itu jalan ceritanya tentang kisah Ramayanan yaitu Rama dan Sita ` Tari Kecak yang diiringi paduan suara beberapa orang pria yang selalu berucap cak-cak-cak-cak dengan merdu serta pantun berbeda-beda menghasilkan suaraa musik tanpa sedikitpun satu alat musik.

[caption caption="gadis bali sebagai penerima tamu di acara pertunjukan tari kecak. foto by Ita DK"]

[/caption]

Dengan menggunakan penari sebagai media penghubungpara dewa atau leluhur dapat menyampaikan pesannya ttentang kisah cerita Ramayana yaitu Sita yang diculik oleh Rahwana dan akhirnya selamat berkat bantuan Rama dan Laksana.Akhirnya Rama berhasil merebut kembali istrinya Sita dengan selamat. Pertunjukan selama satu jam tidak terasa karena pertunjukan diakhiri dengan atraksi seru yaitu Hanoman yang diperankan oleh Pak Ketut menginjakkan kaki di atas bara api yang menyala panas. Panas apnyai masih sangat terasa hawanya ketika selesai pertunjukkan para Kompasioner diperbolehkan mewawancarai para penari. Pak Ketut sendiri sudah 25 tahun menari dan setiap hari menari di gedung pertunjukkan Batu Bulan ini.

Acara hari pertama Pesona Budaya yang sangat berkesan ini diakhiri dengan makan malam menu nas ipedas di daerah Kuta .Akhirnya kami bisa kembali di Hotel Courtyard by Marriot Seminyak sekitar pukul 22.00 waktu Bali dengan hati yang sangat berkesan dengan acara Blogtrip Kompasiana ke Bali ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun