Mohon tunggu...
Asip Suryadi
Asip Suryadi Mohon Tunggu... Guru - Widyaiswara

Saya seorang widyiaswara, spesialisasi metodologi dan penilaian pembelajaran. Kajian penelitian di bidang online learning. Senang menulis, membaca dan bercocok tanam. Saya menikah dan memiliki 5 orang anak. Mengelola beberapa media sosial, diantaranya Edunesiania YouTobe, Edunesia Blogspot dan, @asipsuryadi. Dapat dihubungi di WA 081288192490 dan email asip_sayurradi@yahoo.co.id.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak-anak Selalu Benar Kecuali Contohnya Salah

28 Januari 2024   18:22 Diperbarui: 28 Januari 2024   18:54 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kita sering mendengar gunjingan: Pantaslah anak-anaknya malas, karena ayahnya juga malas. Itu mungkin benar. Tapi apakah anak-anak dilahirkan dengan gen pemalas dari ayahnya? Ataukah watak-watak tersebut terbentuk akibat interaksi sosial dalam keluarga, teman-teman sekitar rumah dan sekolah?

Mari kita ingat-ingat lagi tokoh Tarzan dalam film Tarzan of The Apes, atau tokoh Mowgli dalam film Jungle Book. Kedua tokoh tersebut adalah anak manusia namun karena diasuh oleh hewan maka mereka bertingkah dan berbahasa seperti hewan. Cerita ini tentu saja sebuah fiksi, namun dikembangkan dari teori psikologi dan sosiologi bahwa karakter manusia dibentuk melalui lingkungan. Dalam Islam ada hadis riwayah Bukhari Muslim yang menjelas bahwa setiap anak lahir dalam fitrahnya, tergantung orang tuanya mau dijadikan Yahudi, Majusi atau Nasrani. 

Fitrah yang dimaksud adalah kecenderungan untuk menjadi makhluk Allah yang baik. Artinya setiap anak manusia lahir membawa gen dari orang tuanya. Tentu tidak mungkin Allah memberikan gen buruk kepada makhluknya. Gen itulah yang merupakan potensi kemanusiaan dari setiap anak. Selanjutnya potensi tersebut akan berkembang ditentukan oleh lingkungan.

Tarzan dan Mowgli memiliki gen manusia yang berpotensi untuk dapat berdiri dan berbicara. Tapi karena Tarzan dibesarkan oleh kera, maka ia bergerak berayun di pohon seperti kera. Karena Mowgli diasuh oleh keluarga serigala maka bergerak dengan cara merangkak dan berbahasa seperti serigala.

Anak-anak kita sering kali berperilaku buruk. Dari mana belajar berperilaku buruk? Tentu saja dari lingkungannya. Kalau di lingkungan sekitarnya tidak ada yang berkata kasar, maka anak-anak tak akan berkata kasar. Kalau orang-orang di sekitarnya tidak membuang sampah sembarangan, maka anak-anak tak akan membuang sampah sembarangan. 

Kalau orang di sekitarnya tidak membaca, maka ia juga tidak akan membaca. Kalau orang-orang di sekitarnya nongkrong di HP maka ia akan ikut nongkrong di HP. Makanya sebuah prinsip dalam pembentukan watak mengatakan bahwa "Tidak ada anak yang salah, yang salah adalah contohnya". Jadi kita dapat mengatakan bahwa watak dan perilaku anak adalah cerminan lingkungannya.

Lalu bagaimana cara membentuk watak dan perilaku anak-anak? Tentu saja dengan membangun lingkungan yang baik. Banyak alternatif langkah yang dapat dilakukan. Mari kita coba langkah berikut. Langkah pertama membuat memahamkan makna dan manfaat dari perilaku. Kedua membangun komitmen bersama untuk memperbaiki perilaku tertentu dan perangkatnya. 

Kalau diperlukan menyepakati sanksi tertentu. Ketiga, orang tua/guru memberi contoh baik yang tidak pernah berhenti. Keempat orang tua/guru memaksa anak-anak untuk mengikuti contoh dan menjalankan komitmen. Kelima orang tua/guru tidak bosan menegur dan membetulkan apabila anak-anak melanggar kesepakatan. Keenam, orang tua/guru memantau terus proses pembiasaan dan internalisasi.

Beberapa hal yang harus dicatat. Dalam sebuah lingkungan seperti keluarga dan sekolah, contoh atau teladan tidak cukup seorang, melainkan harus keroyokan. Dalam keluarga, tak cukup contohnya hanya ayahnya, tapi juga ibu dan kakaknya. Apalagi dalam sebuah sekolah/madrasah, semua komponen dimulai dari kepala sampai Satpam harus menjadi teladan. Selanjutnya para teladan harus konsisten dan tak pernah bosan. Ketika para teladan tidak konsisten atau berhenti, maka pembentukan watak akan berakhir pula. Penting juga menggunakan sistem reward (penghargaan) dan punishment (sanksi).

Banyak teman saya yang meragukan langkah tersebut: It will not work anyway. Namun saya lihat alasan mereka kebanyakan karena mereka belum melakukan. Ada juga yang melakukan namun kurang konsisten. Ada juga yang mengatakan, "Orang Indonesia memang budayanya begitu".

Alasan yang terakhir di atas menyakiti hati nurani bangsa. Menurut saya watak orang Indonesia mudah dibentuk. Mari kita buktikan. Bagi yang pernah berkunjung ke sebuah negara dengan karakter kolektif yang baik, misalnya yang paling dekat Singapura dapat melihatnya. Ketika kita masuk ke lingkungan yang serba bersih, teratur dan tertib maka kita akan ikut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun