Lelaki 40 tahunan yang turun dari mobil bersamanya juga mengherankanku. Tidak biasanya istriku berselera begitu. Ia selalu bersama manusia terbaik dari pakaian dan kemampuannya. Kali ini tidak. Lagi pula kenapa ia mau-maunya datang kesini ? Aku hanya memintanya untuk mendatangkan pembantu pekerjaan untukku.
Mobil istriku itu adalah satu-satunya yang memancing perhatian orang-orang, tapi setelah mobil itu pergi, menghilang pula perhatian orang-orang itu. Istriku mengaku penasaran dengan kondisiku dan ingin sekali melihatku bermain catur.Â
Aku pernah bercerita banyak tentang pengalaman bersama catur di masa laluku. Sementara kami mengobrol, pak Hasiman, orang yang akan membantuku itu sudah mulai menjalankan tugasnya. Aku pun jelaskan keadaannya. Aku ceritakan siapa pria tua itu, aku jelaskan betapa aku ingin mengalahkannya.
Kami berdua pun berdiri di dekat arena, menonton permainan catur yang pasti akan berakhir sebentar lagi. Istriku menyemangatiku, katanya:
''Ini kali pertama kau mengutarakan keinginanmu dengan kuat, ini kali pertama aku merasakan ambisimu. Bagaimana bisa aku melewatkannya ?''Aku terenyuh dibuatnya, dia bisa romantis juga, dan tentu ada benarnya. Aku yang terbiasa memandang segala sesuatu tanpa beban tiba-tiba berambisi keras dan akan mengeluarkan seluruh kemampuanku hanya untuk mengalahkan seseorang di papan catur.
Kini aku berada di medan laga. Babah tersenyum meremehkanku, terdengar dramatis tapi memang beginilah keadaannya. Keangkuhan terlihat jelas dari sorot matanya yang sayu namun tetap mengeluarkan aura yang keras. Aku tertantang !
''Jika oe' menang, satu gelas kopi sama empat sendok klimelnya glatis buat oe'' teriaknya menantangku. Membuat kesepakatan sendiri. Enak saja segelas kopi gratis ! aku sudah mengorbankan waktuku yang berharga untuk menyeduhnya. Ia tidak bisa menang begitu saja. Akan kubuat ia kebakaran jenggot meski ia sudah tidak memilikinya sama sekali.
Hari mulai sore, seperti mendung tapi udaranya terlampau panas. Kami berhadapan di bangku seperti yang sudah-sudah dengan lawannya.
Pun dimulai.
Hanya dua langkah, menteriku sudah menemi ajalnya. Keringat dinginku mulai bermunculan. Malaikat maut siap mencabut hak setiap makhluk mati di atas papan ini. Tidak, kerajaanku tidak boleh hancur  oleh si botak ini ! ini tentang harga diri dan empat sendok 'klimel', gumamku dalam hati. Lalu kulihat babah menyeruput kopi manis sisa peperangannya yang ketiga di hari ini.  Lantas aku ambil rokade demi selamatkan jantung kerajaanku : sang Raja. Kutebas leher luncus yang berada di sudut, yang bersembunyi bersama benteng.
Ku nikmati gempuran dari masing-masing kerajan. Saling menebas leher prajurit, merobohkan benteng lawan, dan melepaskan rudal tak bersuara.