Aku dedikasikan warung ini untuk para pria saja, jadi tidak ada cemilan anak-anak disini. Tak berselang lama muncul seorang pria berkameja biru memesan kopi hitam satu, aku layani ia sepenuh hati. Ia merupakan pelanggan pertamaku.
Satu bulan sudah aku berusaha di warung kopi kopiku yang hanya memiliki sebuah etalase dan beberapa buah meja lengkap dengan bangkunya. Namun warung kopi itu masih terbilang sepi. Hanya beberapa orang saja yang mampir, itupun hanya membeli beberapa gelas kopi saja.
Di tengah kebingunganku, aku memberanikan diri untuk berkonsultasi dengan istriku pada suatu malam yang dingin. Kami sedang bersiap-siap tidur.Â
Aku lihat wajah istriku yang berada di sampingku. Wajahnya penuh gurat lelah, usianya memasuki kepala 4. Tapi dapat kalian pastikan sendiri bola matanya memancarkan kembang api ! Aku tahu, semangat membara seperti ini tidak akan padam hanya karena umur yang beranjak membuat getir tampilan luar.Â
Bila kami berdiskusi dan ia membicarakan apa yang menjadi minatnya, aku sadar pikirannya telah melanglang jauh ke segala hal yang bahkan mustahil dilakukan. Ide-idenya sedikit gila. Kadang aku hanya bertafakur mendengarkannya meracau dengan topik yang tidak pernah aku minati.
Suatu malam, setelah ia bercerita begitu banyak tentang konflik negara belakangan ini, aku menemukan celahku untuk bertanya padanya.
‘’Sayang,’’ rayu ku
Ia menoleh.
‘’Kau penasaran tidak bagaimana kondisi warung kopi ku ?’’
Ia mendekatiku, ‘’Ada apa?’’ tanyanya.
Kuutarakaan padanya tentang warung kopiku yang amat sepi. Berharap sebuah jawaban praktis nan cerdas lahir dari kepala istriku yang telah sukses ini.