Cerita oleh Asinnuriach
Wanita konglomerat itu telah resmi menjadi istriku sejak sebulan yang lalu. Ia adalah seorang Konghucu yang tidak terlalu taat. Entah sejak kapan ia mulai tergila-gila pada sarjana S1 busuk sepertiku.Â
Kami menikah secara sederhana. Sebuah pesta kecil di rumahnya dan hanya mengundang kolega terdekat saja. Tiada keluarga dekat yang bisa menghadiri pernikahan kami.Â
Baik orang tuanya maupun orang tuaku. Aku yang berasal dari panti asuhan tak tentu ibu dan ayah, dan istriku seorang janda serta satu-satunya anak dari orang tua yang sudah meninggal beberapa tahun silam.
Upacara pernikahan kami selenggarakan secara sederhana dan sakral dengan nuansa modern. Istriku tak ambil pusing soal ini. Dia pun termasuk orang yang simpel, bersanding dengan aku yang acuh terhadap banyak hal. Termasuk kepada diriku sendiri. Aku tidak peduli tentang hari ini maupun di masa depan. Hidup ya hidup saja. Tidak ada yang perlu dipusingkan. Tidak perlu berberat hati dengan apa yang ada di bumi. Makan ya makan saja.Â
Tidur ya tinggal tidur. Kegiatan yang aku sukai adalah melamun sambil melihat kendaraan berlalu lalang di pinggir jalan, biasanya aku melakukan itu di warung kopi di bawah jalan layang yang cukup lebar. Disana enak, tidak terlalu panas, akupun suka keramaian meski aku tidak suka meramaikan.
Perihal bagaimana aku dan istriku yang konglomerat itu bisa bertemu tidak akan kuceritakan pada kalian. sebab ia sudah jadi milikku dan segala yang menjadi milikku tidak akan aku bagi dengan mudah dengan orang lain, baik itu kenangan sekalipun.Â
Ia begitu memanjakan aku. Meski aku tidak meminta banyak, tapi ia terbiasa memberikan hadiah-hadiah manis meski sebenarnya tidak terlalu ku sukai – karena memang tidak ada yang benar-benar aku sukai dari hidup ini. Sekali waktu aku pernah dibelikannya mobil yang cocok untuk pria berumur 30-an sepertiku. Namun aku tidak bisa mengemudikannya.Â
Tepatnya aku tidak mau belajar mengemudikannya, dan tidak ada tempat yang ingin ku tuju selain kios-kios kopi di pinggir jalan. Alhasil mobil tersebut hanya teronggok di garasi, tidak aku sentuh selama satu bulan. Akhirnya mobil itu pun di jual lagi oleh istriku. Jauh dari kata kecewa, meski aku tidak pernah meggubris hadiah-hadiah darinya.Â
Menurutnya, inilah sikap yang ia sukai dari aku. Hingga suatu malam terjadi percakapan, kami berdua sedang beristirahat di kasur. Aku yang lelah karena berpikir sendirian seperti biasa saling menatap dengan ia yang baru sampai dari perjalanan bisnisnya dari beberapa kota selama 3 hari.
Istriku sedang menyisir rambutnya yang tipis, dia berpiyama, baru selesai mandi, menengok padaku yang sedang melihat isi smartphonennya.