Gunung Cupu Mandala-hayu,
Mandala Kasawiatan,
di Hulu Dayeuh,
dina cai nu teu inumeun,
dina areuy nu teu tilaseun,
dina jalan teu sorangeun,
sakitu kasaramunan..
Manusia dan lingkungannya adalah sebuah hubungan integral yang tidak dapat dipisahkan. Mengingat mata pencaharian manusia Sunda sebagai petani yang tidak jauh dari aktivitas huma, berkebun, sawah, dan macam-macam agrotekhnologi lainnya. Manusia Sunda memperlakukan alam atau lingkungannya sebagai mitra dalam hal manunggaling kanu Kawasa, ini artinya manusia Sunda yang merupakan etnis yang kental didominasi oleh aspek rasa telah menjadikan alam yang sama-sama ciptaan Tuhan sebagai mitra yang dapat membawanya pada tujuan utama yakni Kebagjaan Jatiniskala. Hal ini juga dikaitkan dengan perlakuan manusia Sunda yang selalu mengaitkan alam dengan kekuatan-kekuatan transendental seperti kekuatan adikodrati yang diyakini sebagai pemilik alam itu. Tujuannya agar alam diperlakukan dengan baik.
Hubungan erat manusia Sunda dan alam ini terdokumentasi dengan baik pada ungkapan, guguritan, ataupun pupuh dari Sunda. Contohnya pada ungkapan indung rahayu, bali geusan ngajadi. Atau pada penyakralan tanaman padi sebagai pangan utama dengan diangkatnya dewi khusus yakni Dewi Sri atau Nyi Pohaci sebagai dewi padi, pun sebuah konsep yang menjadi dasar kesenian Tarawangsa dari Sumedang.
Dari hubungan yang baik ini, alam pun seperti ingin membalas kebaikan manusia Sunda dengan bentangan alam Sunda yang tidak jauh dari gambaran visual tentang Tanah yang Dijanjikan dalam konteks profetis Musa di Puncak Sinai. Gambaran tekstual tentang negeri dengan pemandangan hijau yang mendamaikan mata, sungai mengalir jernih, dan gunung-gunung menjulang. Meskipun teks tersebut tidak hanya merujuk pada gambaran geografis, tapi gambaran indah seperti itu adalah perwakilan dari salah satu gambaran indah tentang kemakmuran alam yang hidup berdampingan dengan manusia.
Melihat bagaimana alam diperlakukan dengan sangat bijak dan adil oleh manusia Sunda, telah jelaslah bahwa manusia Sunda merupakan salah satu etnis yang sangat menghargai alam sebagai mitra kehidupannya. Alam tidak dipandang sebagai objek, namun disayangi sebagai mitra dalam berkehidupan di alam sangkala. Jika dianalogikan sebagai hubungan antar manusia, hubungan manusia Sunda dan alamnya ini dapat dianalogikan sebagai hubungan sahabat yang mana keduanya saling memberikan manfaat satu sama lain, tidak merugikan. Sebagaimana sahabat, alam telah memberikan salah satu rahasianya, yakni Uga. Uga adalah sebuah prediksi manusia tentang alam, contoh Uga yang terkenal adalah tentang Sumedang nu Ngarangrangan. Uga ini muncul dari Kila-kila. Kila-kila adalah kumpulan pertanda yang jika disimpulkan menjadi Uga. Contoh Kila-kila adalah Lamun aya sora manuk cingcuit sasada tarik bakal aya hujan gedé, artinya jika terdengar burung Cingcuit maka aka nada hujan besar. Keberhasilan menusia Sunda dalam memprediksi Uga ini muncul atas kepekaan rasa yang dimiliki manusia Sunda, tentu saja perlu Tarekat yang cukup rumit untuk dapat menyimpulkan sebuah Uga yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Adapun uga hanya disusun berdasarkan ilham, insting, dan penghayatan (kontemplasi). Dengan kearifannya karuhun mampu mengabstraksikan dan menggeneralisasikan putaran perjalanan hidup manusia untuk melahirkan uga. Contoh Uga yang telah terjadi adalah sebagai berikut “Jaga mah, barudak, sajajalana disaungan”, muncullah kereta api. “Gancang carita béja, mun geus aya balabar kawat”. muncullah telegram.
Salah satu kebiasaan manusia Sunda yang dapat meningkatkan kepekaan rasa ini adalah kebiasaan manusia Sunda yang makanannya hanya terdiri dari lalaban (dedaunan), beubeutian (umbi), untuk protein paling ikan. Ayam adalah salah satu makanan yang mewah bagi orang Sunda. Kalimat ‘kita adalah apa yang kita makan’ ini benar adanya. Kebiasaan makan yang lembut dan mudah dicerna oleh perut ini mendatangkan sesnsitifitas rasa yang tinggi bagi manusia Sunda. Sensitifitas rasa yang tinggi ini melahirkan kebesaran hati yang dapat mempengaruhi karakter orang Sunda.
Kebesaran hati ini pun membuat orang Sunda hampir selalu ‘berbesar hati’ untuk mempersilahkan orang lain lebih dahulu dalam hal ‘kesenangan’. Hal ini dapat kita jumpai dengan mudah, contohnya orang Sunda di Masjid selalu berbesar hati untuk mempersilahkan orang lain berada di shaf pertama. Hanya saja, hal ini diterapkan juga pada etnis lain yang mungkin aspek rasanya tidak setinggi manusia Sunda dimana setiap kali ‘mempersilahkan’ pada orang lain, orang dari etnis lain tersebut benar-benar menganggapnya sebagai betulan tanpa memberikan kemurahan hati yang sama pada manusia Sunda. Akibatnya, di era demokrasi ini, manusia Sunda seakan redup dari peradaban, bahkan sedikit sekali orang Sunda yang memiliki kekuatan di bangku kuasa. Etnis Sunda sebagai salah satu etnis terbesar di Indonesia, pernahkan salah satu presidennya berasal dari etnis ini ? ditambah kenyamanan manusia yang enggan untuk bermigrasi ke daerah lain menjadikan diplomasi manusia Sunda menjadi kurang militant.
Dari minimnya kuasa atas tanahnya sendiri inilah yang menjadikan tanah Sunda seakan kehilangan ibunya. Tiada lagi kepekaan rasa dari manusia terhadap tanah Sunda, ditambah lagi penguasa (begitupun paham) yang datang dari daerah lain tidak dapat mencintai Sunda sebagaimana Ki Sunda seharusnya. Hal inilah yang melahirkan berbagai bencana alam di dataran Sunda. Salah satu bencana alam yang sedang terjadi di beberapa daerah di dataran Sunda (baca : Jawa Barat) akhir-akhir ini.
Banjir ini memang salah satu bencana yang kedatangannya dapat diprediksi, bahkan dengan kepekaan rasa yang rendah, oleh orang yang awam tentang ekologis sekalipun. Masyarakat sudah paham bahwa setiap musim hujan pasatilah akan terjadi banjir di sungai-sungai, baik itu banjir kecil (caah leutik) maupun besar (caah gede). Hanya saja, kila-kila ini tidak dipahami dengan baik lengkap dengan akibat dan penanggulangannya. Sekali lagi, manusia sekarang ini, jatidiri Ki Sundanya telah luntur, tidak memahami keadaan alam meski alam telah berbicara dengan lantang sekalipun.
Adapun jika dilihat dari kacamata Ekologis, rata-rata penyebab banjir ini diakibatkan oleh alih fungsi hutan yang dijadikan sebagai perkebunan sayuran atau kebun sawit, padahal hutan adalah salah satu gambaran kekayaan spiritual manusia, dari hutan pulalah kebudayaan manusia berakar; banyak daerah resapan tanah yang beralih fungsi, contohnya adalah lahan properti yang menggunakan daerah rawa atau sawah sebagai tempat mereka mendirikan bangunan; penyempitan dan pendangkalan sungai; pembangunan fisik yang jor-joran, banyak sekali proyek pemerintah yang lebih mengedepankan pembangunan fisik daripada peningkatan jatidiri untuk rakyatnya, gemar memanfaatkan Negara tapi alfa dalam pengenmbangan Sumber Daya Manusianya; perbedaan kelola tata ruang antar daerah, khususnya tata ruang provinsi Jabodetabek; dan pengubahan fungsi hulu dan hilir sungai.
Adapun penyebab banjir yang dilihat dari pendekatan terhadap masyarakatnya sudah saya singgung di awal. Meminjam istilah Odum (1983), ‘menusia adalah sebuah controlling atas sebuah ekosistem’. Kegiatan controlling ini, yang mana manusia Sunda -sekarang sudah berkurang kepekaan rasanya, ditambah kurangnya kuasa yang dipegang oleh manusia Sunda di tanahnya sendiri. Hal ini cukup untuk menjadi alasan mengapa banyak bencana alam yang terjadi di tanah Sunda. Kerakusan akan manfaaat yang disediakan alam, eksploitasi besar-besaran, kurangnya adab atas tingginya ilmu, pembiasaan menggunakan bahan yang sulit diurai, adalah hal-hal yang lumrah kita temui dari manusia yang menganggap dirinya modern ini, manusia yang menganggap nenek moyang dan ajarannya dengan sebutan ‘primitif’, tapi mereka pula yang gagal dalam mengelola alam tempat dia hidup. Sehingga dengan hadirnya bencana ini kita dapat membaca bahwa alam telah murka, seperti ingin menghukum manusia atas kerakusan yang membelenggunya.
Marilah kita menarik nafas sejenak setelah perenungan sifat hewani kita ini, sedikit berandai apabila manusia modern lengkap dengan kuasa yang dia miliki sebagai perwakilan dari sebuah Negara demokrasi menggunakan tekhnologi dan segala kemodernannya untuk kembali menjalin hubungan yang baik dengagn alam. Membangun kepekaan rasa dengan memakan makanan yang baik, Tarekat hidup yang benar, sadar atas hubungan Sangkala-Niskala-dan Jatiniskala, dan bermitra kembali dengan semua makhluk hidup dalam rangka manunggaling Kawula Gusti. Tidak lupa untuk memperbaiki sifat-sifat manusia Sunda seperti mengkondisikan lagi sikap ketika bertemu dengan orang lain yang memiliki kepekaan rasa yang jauh dari manusia Sunda, mengambil alih kembali Kuasa atas dasar kebaikan, khususnya pada alam Sunda ini.
Sebenarnya, kearifan lokal manusia Sunda yang menganut ajaran ‘bermitra dengan alam ‘ ini tidak hanya terjadi di tanah Sunda. Penulis yakin, di etnis lain juga terdapat ajaran-ajaran yang memuliakan alam demi kehidupan, terwujud dengan masih eksisnya etnis tersebut di masa modern in.
Sejatinya, kita tidak pantas meninggalkan warisan nenek moyang kita, terlebih apabila warisan tersebut bernilai kebajikan yang luhur. Sikap terlalu berkiblat pada dunia Barat dan pengejawantahan atas budaya etnik sendiri adalah salah satu ciri manusia yang kurang memiliki adab. Budaya, sebagai mana termaktub dalam konsep Bhineka Tunggal Ika adalah jati diri bangsa Indonesia yang harus tercermin dalam setiap diri rakyatnya.
Ka rundayan teureuh Siliwangi
anu nyangking nya si kujang runcang
geura ponténgkeun srangéngé
bur lelemah sing mancur
dina lebah tutunggul nagri
bagal bumi Pakuan
geus mangsa manggung
nanjeurkeun kahayang alam
gunung urug tetengger kula deuk nitis
ngerabkeun hideung bodas
- Guguritan Pupuh Dangdanggula oleh Dyah Padmini
-Penulis adalah seorang mahasiswa jurusan Antropologi Budaya ISBI Bandung yang berasal dari Pameungpeuk, Garut Selatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI