Saya bersedia mengantar teman ke klinik psikiater di rumah sakit, dengan asumsi bahwa pasien di psikiater tentu tidak akan sebanyak pasien di poliklinik lainnya. Tidak harus mengantri, menunggu dipanggil oleh asisten dokter. Di poliklinik lain menunggu lama selalu saja terjadi. Tidak saja nunggu dipanggil, juga nunggu kedatangan dokter yang biasa datang siang. Nunggu dari jam 08.00 dokter datang jam 10.00.
Ternyata prediksi saya salah, di poli psikiater pasien lebih banyak dari pasien di poli lain. Tentang lama menunggu, bagi saya tidak jadi masalah. Justru yang membuat saya bingung adalah, kenapa pasien di poli yang saya perkirakan kosong ini ternyata justru membludak lebih dari yang lainnya. Saya curiga, jangan-jangan memang sekarang lagi musim depresi, sehingga orang menderita sakit kejiwaan ketimbang penyakit fisik.
Secara umum saya memandang depresi sebagai korban tekanan batin atau tekanan hati yang berlebih, yang tidak sanggup ditanggung oleh seseorang. Sementara menurut teori seriusnya, depresi adalah gangguan suasana hati (mood) yang ditandai dengan perasaan sedih yang mendalam dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang disukai. Seseorang dinyatakan mengalami depresi jika sudah dua minggu merasa sedih, putus harapan, atau tidak berharga.
Membaca pernyataan ini, saya jadi menerawang jauh ke kehidupan masyarakat Indonesia (dan bahkan masyarakat dunia), yang memang sedang dihadapkan kepada suatu fenomena tekanan kejiwaan yang sesungguhnya tidak disadari oleh dirinya sendiri. Bahkan jika dikaji lebih serius lagi, akan menimbulkan stress baru tersebab efek yang ditimbulkan oleh fenomena perilaku manusia sekarang yang aneh-aneh.
Dulu, ketika Inul Daratista dikecam habis-habisan karena goyang ngebornya itu, sekarang kita akan dengan mudah menemukan goyang ngebor di media sosial, semaca Youtube, Tiktok, Instagram, Reel, dan sebagainya. Tidak hanya ngebor sendirian, bahkan sekarang dilakukan rame-rame. Malah dilakukan oleh suami istri.
Jika dulu pornografi pornoaksi dikecam dan dilarang, bahkan situs-situs pornografi sekarang diblokir dan tidak bisa dibuka (kecuali oleh tangan-tangan nakal), kini malah banyak tampilan ti media yang dengan leluasa menampakkan perilaku-perilaku pronografi. Di sebuah bulletin online malah tentang perilaku pornografi dibahas vulgar. Anehnya ke hal-hal yang begitu banyak orang yang suka.
Jadi teringat kisah seorang lelaki yang kecanduan nonton film porno dengan adegan kekerasan, yang lama kelamaan dia jadi ingin melakukannya sendiri. Si lelaki itu bilang, bahwa menjadi pelaku lebih nikmat ketimbang menonton.Â
Di beberapa tempat banyak terjadi pembunuhan dengan berbagai alasan kecemburuan (seperti kasus Sambo), dendam dan rasa sakit hati. Ditambah remaja yang makin sering berbenturan, tawuran, hanya gara-gara saling ejek dan saling menantang lewat medsos.
Ditambah pula ditambah dengan tekanan yang datang bertubi-tubi dari Pemerintah: harga BBM yang memicu kenaikan harga di berbagai sektor. Sementara gaji pegawai tidak ikut naik, penyebab utama stresnya para pegawai. BLT yang salah sasaran, dan keputusan nyaliwang lainnya dari pemerintah yang lebih banyak merugikan rakyat ketimbang menguntungkan.
Terus, merebaknya LGBT dan perkawinan sejenis. Mereka makin bertambah anggota komunitasnya dan terus bergerak mencari legalitas. Jika tidak jeli, Kementrian Agama bisa kecolongan terus dengan perkara ini.Â