Mundurnya seseorang dari suatu jabatan karena suatu kesalahan yang dibuat oleh dirinya memang sesuatu yang bisa disebut jantan dan pemberani. Di luar negeri, hal seperti ini sudah biasa terjadi, untuk menunjukkan tanggung jawab dirinya terhadap organisasi atau isntitusi yang dipimpinnya. Dalihnya, agar kondusivitas lembaga yang dipimpinnya itu tetap terjaga.
Namun, apa dulu kesalahannya? Jika mundurnya seseorang dari jabatannya karena tidak hafal Pancasila seperti kasus ketua DPRD Lumajang, apakah itu bisa disebut jantan pula? Sepintas lalu, bisa jadi termasuk juga ke dalam kategori itu. Jantan lah! Sebab dia sudah berani mengakui kesalahannya dan bersedia mundur dari jabatannya sebagai ketua untuk menjaga kredibilitas lembaga.
Akan tetapi, betapa naif penyebab kemunduran dirinya. Naif! Hampir tidak ada pujian terlontar kepada Anang, demikian nama mantan ketua DPRD Lumajang itu, atas pernyataan mundurnya. Kenapa sekaliber ketua DPRD tidak hafal Pancasila?
Atau, jangan-jangan Anang hanya salah satu dari sekian puluh, sekian ratus, sekian ribu, atau bahkan sekian juta manusia Indonesia lupa akan eksistensi Pancasila. Bahkan bukan hanya tidak hafal, dalam kehidupan sehari-hari pun bisa jadi pancasila hanya label saja. Tidak sampai ke jiwa dan hati.
O, betapa malang nasibmu Pancasila jika kemudian dilupakan bangsa pemilikmu sendiri. Lalu, jika falsafah hidup dilupakan pemiliknya sendiri, falsafah yang mana kemudian yang akan dipegang?
Sejak dahulu, kita sudah diberi wawasan bahwa Pancasila adalah dasar negara, pondasi negara, tempat berpijak negara dan bangsa hingga negara dan bangsa ini memiliki karakteristik yang khas, yang membedakannya dari negara dan bangsa yang lain. Betapa keren saat kita dengan bangga mengklain diri sebagai: negara berpacasila, atau bangsa yang berpancasila.
Kenapa kemudian Pancasila begitu lekat dengan hati dan jiwa bangsa Indonesia? Tentu bukan hanya sekedar kebetulan, akan tetapi melalui sebuah proses yang panjang. Penyebabnya bukan karena karena Pancasila mudah dihafal, akan tetapi pancasila memang tercipta untuk menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penguatan Pancasila sebagai falsafah negara, secara historis telah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum Pancasila itu sendiri dirumuskan secara khusus oleh Bung Karno. Nilai historis bangsa inilah justru yang menjadi pegangan Bung Karno memilah bagian-bagian penting yang kelak menjadi pegangan hidup bangsa: yaitu lima dasar yang kemudian dikenal dengan Panca dan Sila.
Setelah melalui proses yag panjang, Pancasila dengan rumusan terakhir: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan / Permusyawaratan dan Perwakilan, serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, maka utuhlah keyakinan akan kemandirian bangsa Indonesia.
Kekuatan Pancasila benar-benar menjadi magnit luar biasa untuk mempersatukan bangsa. Dari berbagai macam suku bangsa, bahasa, agama, adat istiadat, bahkan ideologi kedaerah, bersatu menjadi satu. Padu. Tak bisa dipisahkan satu sama lain. Semua tertuju pada satu titik tujuan: kemerdekaan dan kedaulatan bangsa. Tidak heran jika Pancasila menjadi falsafah paling mendasar yang dituangkan di dalam Preambule atau Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Maka, merdekalah Indonesia! Menjadi bangsa yang bebas dari belenggu penjajahan, kolonialisme dan segala bentuk imperialisme. Indonesia menjadi negara berdaulat dan diakui oleh seluruh dunia, dengan falsafah negaranya yang khas Pancasila. Kita ada karena Pancasila ada!
Pancasila sebagai falsafah dan ideologi bangsa selalu diupayakan akses kejiwaannya ke dalam lubuk hati bangsa secara mendalam. Di tingkat pendidikan ada Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (Pkn), ada Pendidikan Wawasan Kebangsaan. Dulu ada Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), dan berbagai bentuk upaya lainnya, hingga pernah dikukuhkan Gerakan Hidup Berpancasila (GHBP). Itu semata-mata agar Pancasila tetap di hati bangsa ini. Tidak pindah ke lain hati.
Jika demikian, baik kiranya jika gerakan-gerakan semacam Penataran P-4 itu dikembangkan kembali, khususnya bagi para calon pemimpin. Setidaknya untuk menghasilkan para pemimpin yang HAFAL PANCASILA. Tidak seperti yang terjadi kemarin di Lumajang.
Hari gini tak hafal Pancasila? Alamak ...! Naif banget, deh!(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H