Mohon tunggu...
Asikin Hidayat
Asikin Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Kepala Sekolah di SMP 4 Satap Sumberjaya, Majalengka

Hanya suka, semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menakar Masa Depan Lewat Budaya

18 Mei 2017   06:28 Diperbarui: 18 Mei 2017   07:12 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

DIAKUI atau tidak, saat ini (sebagian) masyarakat Majalengka sedang mengalami euphoria yang mau tidak mau menuntun kita ke arah munculnya sebuah pemikiran tentang masa depan Majalengka itu sendiri. Rencana pembangunan Bandara Internasional di Kertajati (BIJB) dan Tol Cipali adalah dua titik konsentrasi yang memunculkan euphoria dimaksud. Imbas yang diakibatkan oleh dua titik tersebut bukan hanya terjadi pada perubahan fisik dan wajah Majalengka dari biasa menjadi luar biasa, namun juga menyentuh segi-segi kehidupan yang lain, seperti sosial, budaya, dan ekonomi. Namun mengkaji wilayah-wilayah imbas itu tidak bisa dilakukan secara parsial, karena imbas fisik dan non fisik hakikinya berhubungan satu sama lain.

Pembangunan BIJB dan Tol Cipali merupakan fenomena perubahan total yang menyentuh segala sendi kehidupan masyarakat. Pada tataran ini, kebudayaan menjadi wilayah yang paling sensitif terimbas karenanya. Paradigma tatanan masyarakat ‘dipaksa’ untuk masuk ke wilayah metropolitan yang memunculkan hal-hal baru yang disaksikan dan sekaligus dilakoni masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Masalahnya, siapkah masyarakat Majalengka menghadapi sekaligus melakoni fenomena metropolitan ini?

Sejak lama mémang muncul kekhawatiran, jangan-jangan masyarakat Majalengka hanya akan menjadi penonton di segerinya sendiri. Betapa naïf ketika sebuah kemajuan dicapai, masyarakat sekitar malah menjelma menjadi sosok-sosok tanpa jiwa. Gagap menghadapi kenyataan. Terlebih ketika orang-orang hanya numpang lewat dan tidak tergerak sedikitpun untuk singgah di Majalengka. Betapa mengerikan ketika Majalengka disinyalir menjadi kota mati hanya karena dampak sebuah kemajuan.

Sehubungan dengan itu, banyak hal yang harus direnungkan. Tak disangkal lagi, sebuah pergerakan kebudayaan yang memiliki komitmen dan mobilitas tinggi harus eksis sebelum persoalan jauh lebih buruk lagi. Tidak berarti kemajuan yang dicapai harus dimentahkan, namun justru pergerakan kebudayaan harus berusaha mengimbanginya, atau jika perlu mendahului kemajuan itu sendiri melalui kerja dan karya. Antisipasi, demikianlah kira-kira istilah yang mungkin tepat, adalah prospek kerja yang mungkin mampu mengimbangi kemajuan yang terus berlanjut.

Di antara sekian banyak bidang kebudayaan, kesenian menjadi sangat penting untuk dilirik, karena yang satu ini diyakini mampu memberikan akses eksistensial bagi keberadaan Majalengka pada umumnya. Meskipun hingga saat ini Majalengka tidak memiliki ikon kesenian yang benar-benar khas Majalengka, setidaknya kesenian yang ada akan mampu memberikan arti, hingga kemudian orang luar atau lebih gagahnya wisatawan tidak hanya lewat namun berkehendak untuk singgah menikmati Majalengka. Jelasnya, Majalengka memiliki sesuatu yang ‘wow’ dan menarik untuk dinikmati.

Eksistensi Komunitas Seni

Ada tugas yang cukup berat bagi para pelaku kesenian ketika muncul fenomena perubahan gaya hidup di wilayah Kabupaten Majalengka seiring dengan munculnya BIJB dan Tol Cipali. Bagi para pelaku seni tradisi, kecenderungan perubahan paradigm dan minat masyarakat sudah mulai terasa. Kesenian tradisional kini hanya menjadi bumbu di antara kesenian yang tumbuh merebak secara profane dan lebih digemari masyarakat. Kecenderungan ini menumbuhkan semangat gerilya yang cukup represif di beberapa tempat dilakukan oleh beberapa komunitas seni tradisi. Di antaranya ada yang mengembangkannya menjadi sanggar seni yang kemudian menjelma menjadi pusat pendidikan dan latihan, bahkan menjadi pusat kajian seni.

Seiring dengan itu, kesenian kontemporer muncul pula dengan gaya dan genrenya masing-masing. Komunitas seni kontemporer berkembang melalui aktivitas kreatifnya yang cukup mencengangkan. Meskipun menampilkan jenis gelaran yang khas dan cenderung modern, namun akar lokalitas tidak mereka tinggalkan. Di Jatitujuh, instrument musik belentung merupakan kesenian yang amat khas dengan lokalitas. Sementara itu, Jatiwangi Art Factory di Jatiwangi menyuguhkan seni musik dengan khas lokalitas yang khas pula.

Baik komunitas seni tradisi maupun komunitas seni kontemporer, berkembang di wilayah Majalengka tidak dibatasi karakteristik wilayah. Artinya karakteristik wilayah, baik utara, tengah maupun selatan tidak cukup berpengaruh terhadap perkembangan dan eksistensi kesenian di beberapa ranah yang berbeda itu. Keduanya berjalan beriringan di wilayah garapan masing-masing. Perlahan namun pasti bergerak melintasi ruang dan waktu.

Eksistensi Individu Pelaku Seni

Pelaku seni atau seniman pada umumnya memiliki problematika tersendiri. Ketika mereka dihadapkan kepada keharusan berpartisipasi baik phisik maupun pikiran ke dalam gejolak kekinian, harus pula berbenturan dengan eksistensinya sendiri. Artinya ada kebingungan mereka harus berada di posisi mana. Benar, bahwa mereka tengah bergerak dengan daya dan upayanya sendiri-sendiri, namun itu belum cukup mewakili mereka untuk mampu mengangkat nama Majalengka menjadi “sesuatu”.

Jatiwangi Arti Factory dapat dimunculkan sebagai sebuah studi kasus. Menurut beberapa orang, atau mungkin pula menurut keyakinan para pelaku di dalamnya (JAF), mereka sudah mampu berkiprah bahkan hingga internasional. Para wisatawan asing berdatangan dari berbagai Negara untuk menyaksikan “apa yang ada” di JAF. Sepertinya dunia Majalengka adalah dunia JAF yang “hanya” sebuah desa di Jatisura. Atau malah lebih sempit lagi “hanya sebuah sanggar” saja, di tempat yang kecil dan sederhana. Pertanyaannya, sudah cukupkah Jatiwangi dengan JAF-nya mewakili Majalengka secara keseluruhan? Sudah cukupkah kebudayaan Majalengka yang kompleks ini terwakili oleh JAF di ranah nasional dan Internasional?

Fakta ini mémang tidak harus dibantah dengan argumentasi membabi buta. JAF adalah fakta. Harus pula diakui bahwa kawan-kawan di JAF sudah berupaya mengangkat sebagian kecil dari Majalengka yang luas ini. Betapa indahnya jika kawan-kawan di tempat lain juga bergerak dengan kualitas dan intensitas yang sama dengan JAF, kemudian pula bersedia duduk bersama di sebuah majelis untuk berpikir (brain storming) tidak hanya tentang wilayah dan wewengkonnya, namun lebih kepada upaya mengangkat Majalengka secara komunal.

Untuk sampai kepada pembuktian gerak factual itu mémang dibutuhkan komitmen, sikap, dan pun arah niat yang sama. Kijoen – seorang budayawan senior Majalengka – menyatakan bahwa pada akhirnya kita mémang membutuhkan sebuah lembaga tempat berkumpul, berbagai, dan sekaligus berkarya. Dewan Kesenian (Dekma) mémang sudah ada, namun stagnasi sedang melanda satu-satunya dewan kesenian yang dimiliki Majalengka ini. Diperlukan revitalisasi atau re-struktrurisasi agar kemudian dewan kesenian hidup kembali menjadi wadah seniman budayawan Majalengka. Dewan ini kemudian menjadi muara ketika berbagai pandangan tentang kehidupan kesenian dan kebudayaan Majalengka harus muncul ke permukaan.

Muncul mémang pertanyaan, perlukan kita sebuah dewan kesenian atau dewan kebudayaan atau apa pun itu namanya? Membicarakan sebuah lembaga kesenian pada saat ini sebenarnya merupakan sebuah antitesa, atau bisa jadi sebuah konotasi paradox yang mempertentangkan antara butuh dan tidak butuh sebuah dewan atau lembaga kesenian itu. Jika pun mémang butuh, proses pembentukannya tidak harus serta merta dan terkesan buru-buru, karena hanya akan melahirkan sebuah lembaga yang premature dan tidak mampu bekerja. Sebaliknya, jika tidak butuh, harus disertakan alas an argumentative ilmiah mengapa lembaga tidak dibutuhkan.

Proses masih sedang berlangsung. Pemikiran belum final sampai kepada sebuah kesimpulan. Kita, seniman budayawan Majalengka, masih harus bertemu, berpikir, dan sekaligus menanti ajakan sang “birokrasi” untuk segera membuktikan pemenuhan kebutuhan ini. Karena, bagaimanapun, sinergitas dari semua unsure dan semua pihak yang berkepentingan harus pula terjalin.

Semoga.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun