Persis hari H Senin 2 Mei, keluarga besar saya HA Asikin, mengadakan pertemuan silaturahmi alias halal bil halal. Saya sekarang jadi orang tertua dalam keluarga ini. Sebagai penyelenggara/pengundang, saya gunakan kata open house. Ketularan percakapan modern rupanya.Â
Saya sendiri  lupa dan kapan atau siapa yang pertama kali menggunakan kata open house untuk pertemuan yang dulu dulu disebut halal bi halal itu. Kalau tidak salah pihak istana ya. Keren memang "open house". Padahal katanya di Amrik istilah open house digunakan untuk kandang ayam broiler yang tidak dikunci.
Alhamdulillah open house keluarga kami itu lengkap dihadiri banyak anggota keluarga. Secara bercanda saya sebut  riungan ini dihadiri utusan istana (mereka yang tinggal di Jakarta dan Tanggerang) juga ada "budah laut" dari kampung asli kami di bibir lautan Hindia. Di Tasik Selatan sana. Lengkap dan lebih banyak yang hadir, mungkin ada pengaruh dari pandemic covid19.
Selama 2 tahun "mang Opid" seruduk sana sini praktis perhelatan keluarga kami yang sudah berjalan secara rutin selama lebih 3 dasawarsa terhenti sama sekali. Jadi ada rasa rindu yang bermagnet kuat, yang menggelegak sampai di ubun ubun.
Apa yang terjadi pada keluarga kami tentu relevan dengan gejala umum soal mudik lebaran tahun ini. Langkah bijak pemerintah membuka kran mudik patut lah diapresiasi. Diacungi jempol  tiga.
Ketika pintu mudik itu  dibuka  maka, kalau  kata orang sunda mah "kawas kuda leupas ti gedogan" lepas bebas pergi kemanapun.  Rasa rindu keluarga di kampung segera terwujud.
Menurut survei Balitbang seperti disampaikan jubir Kementrian Perhubungan Adita Irawati, pemudik tahun ini diprediksi mencapai 85,5 juta orang. Hal yang sama juga disampaikan Mentri Perhubungan Budi Karya Sumadi.Bahkan juga langsung oleh presiden Jokowi.
Lonjakan itu begitu signifikan dibanding dengan tahun 2021 yang berjumlah 1,5 juta. Apalagi tahun 2020 yang hanya 297 ribu orang saja.
Arus mudik itu yang terbesar ada di Jawa Timun 14,6 juta. Disusul Jabotabek 14,3 Jateng 12,1 dan Jabar 9,2 juta.
Yang menarik kemacetan itu terjadi tak hanya di kota kota, tapi sudah sampai ke kampung kampung. Padat merayap sudah terjadi mulai hari H siang. Lebih parah lagi h plus 1. Dari pagi hingga sore macet total tak terurai berjam jam. Â Adik saya melaporkan ketika pulang kampung dari Tasik kota ke Karangnunggal memakan waktu hampir 5 jam. Padahal hari hari biasa hanya butuh waktu 1 jam untuk menjangkau jarak 50 km itu.
Sepertinya prediksi para pejabat  Kementrian Perhubungan itu tak meleset amat.  Hampir semua orang keluar rumah.  Pulang kampung . Mungpung lagi tidak dikurung.
Mereka benar benar  "kawas kuda leupas ti gedogan", Lepas bebas.
Terima kasih "mang Opid".-*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H