“ Kebingungan itu ternyata menumbuhkan sesuatu yang positif, yaitu rasa ingin tahu lebih jauh, dan itulah awal dari pengembaraan dan pencarian tentang kebenaran (truth), yaitu keinginan dan melihat dan memahami segala sesuatu secara utuh dan mendalam, dan itulah proses pemaknaan.” [Prof. Dr. H.R. Otje Salman S., SH dan Anthon F. Susanto, SH., M.Hum]
Dua hari ini, Saya telah menghabiskan kertas sebanyak 4 lembar untuk proses pemaknaan. Ya, mulai dari mata kuliah filsafat hukum yang cukup mencerahkan Senin kemarin hingga mata kuliah Hukum dan Masyarakat yang diasuh oleh Prof Koesno hari ini yang cara mengajarnya sangat meng-inspirasi. Baru kali ini saya sadar betul, bahwa ya, masih ada dosen yang bisa membuat saya mengangguk-angguk tersenyum. Mungkin karena kali ini Saya menjalani kuliah sebagai mahasiswa pasca sarjana yang memang bukan waktunya lagi ‘hanya mendengarkan’, didoktrin, sebatas teori, tapi sudah tahap mengkritisi, berpikir, mengolah, menyatakan dan mempertahankan pendapat dengan asuhan dan arahan dari para profesor dan doktor tentunya. Kalau dulu sebatas mendengarkan, mencatat, mencari nilai dan kelulusan, maka rasanya setiap hari – tubuh Saya di kelas, tapi pikiran Saya di mana-mana, pun dahi Saya sering mengernyit tidak setuju, tapi tak mampu berbuat apa-apa, bahkan menyatakan pendapat pun tidak karena merasa sia-sia saja. Mungkin juga, langkah meneruskan kuliah di jenjang pasca sarjana ini kemudian muncul, karena kesadaran penuh untuk menjadi bagian dari perbaikan sistem hukum di Indonesia, meskipun hanya menjadi ‘seterbang debu’...
Saya kira, kuliah Saya setiap hari, Senin-Kamis jam 7 – 10 seperti tertulis pada jadwal lama. Ternyata kuliah dipadatkan, Senin – Selasa jam 8 sampai 1.30 siang, Rabu-nya hanya sampai jam 10. Maka, waktu dhuha jam 10 pagi itu (Senin) kepala Saya rasanya sudah penuh dengan ceramah Pak Ridwan yang seorang doktor itu, tentang filsafat hukum. Sebelum sampai pada titik pencerahannya, dahi Saya masih berpaut, bingung, teramat bingung.
Filsafat mempunyai banyak istilah di berbagai negara, yang asal muasalnya sebenarnya dari bahasa Arab yakni falsafah. Dalam bahasa latin, filsafat disebut phylosophia, di mana Philo/filo berarti cinta; sedangkan sophia/sofie berarti kebijaksanaan, yang jika dirangkai artinya cinta akan kebijaksanaan. Dalam hal ini, cinta akan kebijaksanaan dimaknai memadukan rasio dan nurani dalam setiap perbuatan manusia. Diharapkan dengan ber-filsafat, maka kita dapat berbuat apa pun dengan berdasar pada akal dan nurani kita sebagai manusia. Akal adalah yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya, dengan akal, manusia dapat berpikir, logis, mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, bertindak lebih efisien dan efektiv. Dengan akalnya manusia mampu mengetahui, bahwa ia tidak boleh buang air besar sembarangan. Sedangkan nurani (hati nurani), dia membimbing manusia untuk mempergunakan akal dengan benar dan mulia. Dia yang akan memindai apa yang akan dilakukan akal. Hati akan memberitahukan pada pemiliknya bahwa apa yang ia lakukan itu salah dengan memberikan sinyal rasa kegelisahan dan keresahan.
Pada awalnya Saya sangat hati-hati mendengarkan penjelasan Beliau seorang doktor yang ada di hadapan Saya (sampai akhir pun juga tetap sangathati-hati, namun ada perasaan lega), karena kabarnya hati-hati jika berpikir filsafat, jika tidak maka akan terjebak pada kebingungan tak berujung yang pada akhirnya membuat kita bertindak sesuai dengan alam pikiran kita masing-masing.
Nah, keresahan Saya terjawab. Dari banyak pengertian filsafat menurut para filsuf, dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh serta radikal sehingga mencapai hakikatnya. Ini berarti, tidak bisa tidak bahwa setiap manusia pasti berfilsafat. Kemudian ada pertanyaan dari salah satu mahasiswa, jika setiap orang berfilsafat mencari hakekat kebenaran akan sesuatu misalnya, berarti apakah dapat disebut bahwa yang disebut kebenaran itu sifatnya relatif sesuai alam pikiran manusia masing-masing?. Lalu dosen Saya menjawab, bahwa setiap orang memang berfilsafat, berfilsafat itu adalah upaya manusia yang sifatnya relative. Sedangkan untuk sesuatu yang sifatnya absolut yakni kebenaran mutlak, maka kita tidak perlu berfilsafat lagi karena sudah mutlak, tidak tertolak lagi kebenarannya. Itulah kenapa, dalam agama – sesuatu yang sifatnya mutlak dan absolute dari Allah, tidak perlu bahkan tidak boleh kita berfilsafat. Cukup sami’na wa atho’na – kami mendengar dan kami taat. Tapi catatannya, ini berlaku bagi mereka yang sadar penuh dan mau tunduk bahwa syari’at atau agama itu bersifat mutlak kebenarannya. Mereka yang tidak bersedia, maka mereka akan berfilsafat. Lalu mahasiswa yang tadi bertanya, melanjutkan pertanyaannya, kalau begitu kita akan tidak boleh membahas agama itu sendiri, kita harus mentah-mentah menerima sebuah ajaran agama tanpa boleh membahasnya kenapa harus begitu, kenapa harus begini (contoh, kenapa perempuan harus berhijab, kenapa warisan untuk laki-laki lebih banyak dari perempuan, dsb dsb. <Ini contoh dari Saya sendiri>). Pertanyaan ini juga diperkuat oleh mahasiswa lain yang bertanya kapan kita tidak boleh berfilsafat. Dengan tegas dosen Saya menjawab pertanyaan pertama, oh, tidak, itu namanya bukan mem-filsafat-i agama, itu namanya mengaji, meng-kaji. Mengkaji agama justru wajib hukumnya, perbedaannya dengan berfilsafat adalah jika kita sedang mem-filsafat-i agama, maka sebelumnya kita dalam kondisi tidak beriman, tidak percaya, mempertanyakan akan eksistensi Tuhan, mempertanyakan hakekat agama, sya’riat, yang apabila kemudian ketika dia berfilsafat itu tidak menemukan jawabannya atau menemukan jawaban yang salah, maka ia memilih untuk tidak menjalankan agama tersebut, atau lebih parah lagi, menjadi atheis. Tapi jika konteksnya kita adalah meng-kaji agama, kita berada dalam kondisi beriman, percaya penuh dan total, kemudian kita menambah ilmu agama kita. Dosen Saya menambahkan, perbedaan orang beriman dengan bertaqwa. Beriman itu percaya, tapi belum dalam tahap bertaqwa, belum dalam tahap patuh, belum tentu taat. Iblis pun beriman, tapi membangkang, tidak taat. Sedangkan bertaqwa sudah dalam tahap melaksanakan perintah dan tidak melanggar larangan Tuhan. Sami’na wa atho’na. Jadi jelas, Saya merasa tercerahkan karena kini agak sedikit paham, dan sepakat, bahwa dalam hal agama kita memang tidak boleh berfilsafat (ini menjawab pertanyaan mahasiswa kedua). Lalu untuk apa kini kami berada di kelas ini mempelajari filsafat hukum? Karena hukum yang kita pelajari adalah bikinan manusia, hukum negara. Maka dalam mata kuliah ini, kita berpikir tentang hakekat hukum itu sendiri. Filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis.
Kerangka yang dapat disimpulkan adalah bahwa pengetahuan yang paling mendasar adalah pengetahuan indera (knowledge). Dalam tingkatan ini, yang disebut dengan pengetahuan adalah sesuatu yang bisa kita tangkap dengan indera manusia; pengetahuan ini ada sejak manusia lahir sampai mati. Pengetahuan ini juga dipejari secara sistematis dan logis sehingga dia berkembang. Nah, berkembangnya sebuah pengetahuan membuatnya naik tingkatan menjadi ilmu (science). Jika dalam tingkatan pengetahuan adalah hanya dikenal hal-hal yang dapat ditangkap panca indera, maka dalam ilmu, manusia telah menggunakan akal. Akal digunakan untuk membedakan mana yangbaik dan buruk, bagaimana berbuat sesuatu dengan lebih efisien dan efektif. Obyek dari ilmu adalah fakta dan realita. Pengetahuan merasakan sesuatu dengan indera, sedangkan ilmu mengembangkan dan mengolahnya. Pengetahuan memberi tahu bahwa air itu benda cair, meja itu benda padat. Tapi ilmu membuatnya berkembangan bahwa benda cair bisa menjadi benda padat jika terjadi perubahan suhu, begitu pun sebaliknya. Di sinilah latak pengetahun telah berkembang secara logis dan sistematis menjadi ilmu. Dan ilmu akan terus berkembang karena dia memiliki obyek, metode dan sistematika.
Kemudian dari tingkatan ilmu, manusia kemudian berpikir, bagaimana bisa, suhu yang panas bisa mengubah kayu jadi abu? Dan mengapa air bisa menjadi es, apakah/siapakah yang membuatnya bisa demikian? Bagaimana pula seorang Ibrahim tidak terbakar ketika dibakar. Apakah hakikat air diciptakan? Apa hakekat hidup? Maka pikiran-pikiran demikian, telah masuk dalam wilayah philosophy, filsafat. Dia berada dalam alam pikiran, berfikir filsafat berarti berfikir secara menyeluruh, mendasar/radikal dan spekulatif. Menyeluruh artinya melihat persoalan dari segala sudut dan mendalam sampai ke akar-akarnya. Mendasar/radikal berarti mempertanyakan sesuatu yang di luar dari biasanya, hal-hal yang mendasar. Spekulatif berarti dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Ada sebuah anekdot dalam hal ini, suatu ketika Abu Nawas ditanya, berapa kaki seekor gajah. Abu Nawas melihatnya dari depan dan menghitung kaki gajah, dia mendapati bahwa kaki gajah ada 2. Lalu diia melihat dari arah kanan, kiri, dan belakang, semuanya ia lihat bahwa kaki gajah ada 2. Maka ia menyimpulkan bahwa gajah berkaki 2+2+2+2 = 8. Gajah berkaki 8. Lalu seorang yang lain ditanya dengan pertanyaan yang sama. Orang itu melihatnya dari tiap sudut, sudut kanan depan, kiri belakang, kanan belakang, dan kiri depan. Dari semua sisi itu, ia melihat gajah berkaki 3, jadi kesimpulannya, gajah berkaki 12. Kemudian orang lain lagi ditanya, dan dia melihat dari bawah, dia melihat gajah berkaki 5, tterdiri dari 4 kaki besar dan satu kaki kecil (belalai). Nah, berpikir filsafat adalah berpikir cinta akan kebijaksanaan dimana kemudian untuk mendapat jawaban berapa kaki gajah, maka yang paling bijak adalah mendatangi gajah itu secara bersama-sama lalu menghitung bersama, berapa jumlah kakinya. Pun meraba, meneliti, bahwa belalai bukan termasuk kaki, bahwa buntut bukan pula kaki atau belalai, bahwa telinga gajah ternyata lebar dan besar, dsb dsb.
Namun, dalam berfilsafat, kemudian ada hal-hal yang tidak dapat dijawab oleh filsafat. Sudah tidak mungkin lagi dipikir karena di luar jangkauan akal manusia. Maka kemudian, di sanalah naik pada tingkatan berikutnya yaitu religion (agama). Bahwa ‘ke-mentok-an’ seseorang berpikir filsafat, maka ia akan menemukan jawabannya pada religion/agama sebagai kebenaran yang mutlak. Nah, masalah perbedaan agama yang merasa masing-masing adalah agama yang benar, itu beda pembahasan. Mungkin di akhir tulisan ini akan sedikit saja disinggung.
kaum Sodom
Sebagai contoh, kisah kaum Sodom. Kaum Sodom kala itu mempunyai pengetahuan yang dapar dilihat atau dirasa oleh indera, bahwa berhubungan antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan itu nikmat. Kemudian ilmu menyalahkan perbuatan itu, dimana dengan menggunakan akal, ilmu dapat membuktikan bahwa apabila itu terus terjadi, maka akan terjadi kehancuran bagi kaum sodom di mana tidak akan ada lagi generasi manusia yang lahir, karena tidak pernah ada pertemuan antara sperma dengan sel telur jika penduduknya ber-homo dan lesbi terus. Kemudian datanglah nabi Luth dengan peringatan dari Tuhan yang menjadi sebuah kebenaran tertinggi, mutlak, absolut. Penduduk Sodom mengingkari Luth karena mereka berpikir filsafat akan kebenaran tertinggi yang dibawa Luth. Luth memperingatkan akan kehancuran kaum Sodom jika tidak menghentikan perbuatan keji mereka. Kehancuran itu yakni tidak adanya generasi penerus dari kaum tersebut. Kaum Sodom menyangkal dengan dalih kenikmatan, bahwa hubungan seks laki-laki dengan perempuan itu kuno, dan hubungan sesama jenis itu lebih nikmat dan mereka tidak peduli ancaman dosa dari perbuatan tersebut. Maka hasil dari berfilsafatnya kaum Sodom akan kebenaran tertinggi yang dibawa Luth adalah mengabaikan keberadaan Tuhan dan mengabaikan peringatan dan ancamannya. Hingga pada akhirnya benar-benar hancurlah kaum sodom.
kaum Sodom
Sedikit saja, tentang agama. Kita tahu bahwa sesungguhnya yang disebut agama itu adalah dia mempunyai firman yang turun dari Tuhan. Kemudian ada yang diutus Tuhan untuk menyampaikan firman tersebut kepada seluruh umat manusia. Jika pengertian agama memang demikian, maka sesungguhnya ada agama-agama yang diakui di Indonesia yang sebenarnya bukan termasuk agama dalam pengertian di atas. Agama-agama tersebut adalah agama yang bukan tergolong agama langitan/agama samawi. Agama-agama ada tanpa adanya firman Tuhan itu sesungguhnya berangkat dari pikiran-pikiran filsuf yang berpikir tentang kehidupan. Pikiran-pikiran tersebut meluas, berkembang dan mempunyai pengikut yang banyak, yang kemudian digolongkanlah ia menjadi agama. Terkait dengan agama-agama samawi pun pembahasannya akan jadi panjang. Tidak akan dibahas di sini karena akan berbeda tema. Yang jelas, Allah lah kebenaran absolute itu, tidak terbantahkan, mutlak. Kisah kaum Sodom serta peringatan dosen Saya tadi memberi pencerahan bahwa memang kita tidak boleh berfilsafat akan keberadaan Tuhan, agama, syari’at... Jika kit amemilih untuk berfilsafat akan agama, maka selamat menemukan kebingungan yang teramat, tidak akan terjawab hingga berujung pada atheisme, na’udzubillahi mindzalik... ya Allah lindungilah kami,
Maka, jika di atas Saya kutipkan pernyataan Prof Otje Salman dalam bukunya Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Saya katakan ini adalah proses pemaknaan Saya dalam mencari kebenaran akan hukum. Jika Saya menyebut hukum, maka pengertiannya di sini adalah hukum buatan manusia. Dan mari kembalikan filsafat seperti pada artinya, cinta akan kebijaksanaan yang berpikir dengan akal dan nurani.
Kurniasih Bahagiati
13 Syawal 1431 H / 22 September 2010
00 : 10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H