Sejak pertemuan dengan Firman di rumah ayahnya, Acik mulai uring-uringan. Setiap saat dia mengirim sms menanyakan banyak hal tentang Firman. Asih membalas pesan adiknya meski batinnya tertekan karena perasaan yang semakin hari semakin dalam pada Firman.
“Mbak Asih ada kabar baru!” Acik muncul di ruangan sekretaris desa dengan nafas tak beraturan. Dia berdiri memegang gerendel pintu sementara Asih menghentikan kegiatan menulis, menunggu kelanjutan ucapan Acik.
“Kamu kenapa, Cik? Ada kabar apa?”
Acik mendekat lalu duduk lunglai di kursi depan meja Asih.
“Ternyata mas Firman kembali ke desa bukan karena aku, mbak.” Wajah Acik memerah dan matanya mulai basah. Asih tertegun, jantungnya berdebar kencang. Rasa penasaran membuatnya tak mampu berbicara. Dia takut jika benar Firman tertarik pada orang lain dan bukan dirinya. Padahal beberapa hari ini dia terus meyakinkan dirinya agar siap kehilangan Firman untuk yang kedua kalinya setelah dulu dia melepaskan dengan rela, adiknya Acik menikah dengan Firman. Mungkinkah kejadian itu akan terulang kembali? Luka lama akankah terkoyak kembali?
“Da..dari mana kamu dapat kabar itu, Cik?” terbata Asih berusaha menenangkan diri.
“Itu bukan kabar lagi, mbak. Tapi sekampung sudah tahu semua, kalau semalam mas Firman berkunjung ke rumah Mahar. Benarkan ucapanku tempo hari mbak, mas Firman datang bukan untuk kembali bersamaku, dia ingin bersama orang lain.” Acik mengusap matanya yang basah. Sementara Asih menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
Ada perasaan terluka yang hadir membentuk bulir-bulir air mata namun hanya mengalir di sudut hatinya. Semalam dia menanti kehadiran Firman namun tak kunjung datang. Bukan salah Firman jika tak hadir sesuai keinginan Asih. Sms yang terkirim untuk Firman, hingga malam tak juga mendapat balasan. Seharusnya Asih tak menaruh harapan dengan menyiapkan hidangan dan roti yang sengaja dibeli di toko roti milik Mahar.
Apakah benar mas Firman seperti itu? Bukan kebiasaannya berkunjung ke rumah seorang perempuan yang baru dikenalnya?
Asih membantin terlupa dengan wajah sendu didepannya yang terus menyesali kabar yang mengguncang perasaan.
“Mbak, aku harus gimana nih sekarang?”ratap Acik sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Masalahmu dengan suamimu kan belum kelar, cik. Berkasmu itu baru saja terkirim. Kalian belum menjalani persidangan. Mungkin mas Firman tidak ingin terlalu memperlihatkan perhatian karena takut dianggap penyebab perceraianmu.”Asih menjawab dengan perasaan gusar karena seluruh pikirannya mengarah pada Firman.
Tiba-tiba ekspresi wajah Acik berubah dari sendu menjadi senyum bahkan dia terkekeh sendiri. Asih menatap heran perubahan tersebut.
“Kamu kenapa, cik? Tadi hampir nangis kok sekarang malah cengengesan?”
“Hehehehe..maafkan daku mbak? Aku hanya ingin tahu gimana tanggapan mbak kalau aku ingin kembali pada mas Firman, sepertinya mbak nggak rela tuh..maaf ya..tapi soal Mahar itu aku serius. Aku sama paniknya dengan mbak tapi bukan karena aku ada feel pada mas Firman. Aku murni memikirkan mbak saja bukan diriku.”
Asih yang semula tegang akhirnya tercengang dan memasang wajah cemberut.
“Lain kali jangan seperti ini lagi ya, cik. Mbak bisa marah beneran loh..”
“Hehehe..aku minta maaf mbak, jangan marah ya. Sekarang serius, mbak. Selama ini aku cemas memikirkan mbak. Aku tahu mbak sangat menyukai mas Firman, tapi perasaan mas Firman gimana? Apa dia pernah mengucapkan sesuatu yang mewakili perasaaannya pada mbak?”
Pertanyaan Acik mengingatkan Asih pada sms yang dikirim Firman untuknya. Pesan itu bisakah dianggap mewakili perasaan Firman padanya? Jika benar, mengapa hingga beberapa hari sejak kedatangannya kembali ke desa, Firman tidak juga mengutarakan perasaan secara langsung? Bukan malah mengirim sms yang membingungkan perasaan.
“Mbak, jawab dong! Kalau melihat kesungguhan mbak menjaga perasaan untuk mas Firman, seperti sudah pernah ada ungkapan rasa dari mas Firman tapiiii...kalau melihat sikap mas Firman, aku takut mbak hanya bertepuk sebelah tangan. Kalau terjadi seperti ini, aku kasihan sama mbak. Cukup sudah penantian mbak untuk mas Firman. Orang yang dinanti juga tidak kunjung datang mengungkap perasaannya.”
Kembali Asih terdiam. Pesan sms dari Firman menari-nari dipelupuk matanya.
Semudah itukah seseorang mengirim pesan yang isinya tentang kerinduan jika tak ada maksud dibaliknya? Apalagi ini pesan dari seorang lelaki ke perempuan yang bukan muhrimnya.
Asih tak habis pikir dan terus merenungkan kata-kata Acik hingga dia kembali ke rumah. Malam makin larut tak juga membuatnya mampu memejamkan mata. Asih membalik tubuh, meraba handphone di dekat bantal lalu membuka pesan sms dari Firman.
Kata-kata ini, apa maksudnya mas Firman? Tolong jelaskan padaku dan jangan membuatku gelisah dengan penantian. Jika bukan aku yang menjadi tujuan hidupmu mengapa harus ada pesan ini?
( Bersambung)
Kisah sebelumnya :
Meniti Jalan Berduri Di Kota Bunga
Setangkai Edelweis Ketika Angin Berhembus
Masih Banyak Cinta Yang Menanti
Terluka oleh Jarak dan Waktu Reuni Keluarga di Pengadilan Agama Pesona Diantara Rimbun Padi Dibalik Rimbun Padi Apakah Aku Jatuh Cinta Mas Firman Menikah Suatu Saat, Mungkin.. Terhempas Pemilik Hatiku Karena Kami Memiliki Ayah Merenda Ilalang Kering Ilalang dan Cintaku Belaian Embun Pagi Getar Suara Hati Dalam Bayangan Embun
Desa Rangkat menawarkan kesederhanaan dan cinta untuk anda
Ingin bergabung? silahkan klik logo di bawah ini..
Sumber gambar disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H