Mohon tunggu...
Asih Rangkat
Asih Rangkat Mohon Tunggu... lainnya -

Mewujudkan lamunan dalam tulisan...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[ECR#4] Asaku dalam Dilema

5 Juli 2012   04:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:17 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabut masih menghiasi pagi, matahari juga masih enggan menampakkan diri. Suasana desa nampak lengang. Belum nampak para warga yang akan ke pasar atau ke sawah. Namun tidak demikian dengan  kantor desa. Meski hari minggu, salah satu ruang di kantor desa telah terang oleh cahaya lampu.

Nampak Asih dengan balutan sweater, duduk menggigil menahan dingin sambil mengetik sesuatu didepan komputer. Sesekali dia berhenti lalu membaca kalimat-kalimat yang telah diketik. Kali ini kembali dia menghela nafas lalu menghapus kalimat-kalimat tersebut. Sambil bergumam tak jelas, dia menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi.

Matanya kembali menatap layar komputer. Asih memejamkan mata mencoba menenangkan batinnya. Sejak kedatangan Firman menemui ayahnya, Asih merasa tak tenang. Ada ruang dalam hatinya yang penasaran dan ingin tahu maksud kedatangan Firman. Apakah itu murni kunjungan biasa atau ada maksud lain yang belum terungkap?

Asih beranjak meninggalkan ruangan. Dia tak bisa konsentrasi menyelesaikan tugas mendadak yang baru saja dia terima via sms. Gubernur akan berkunjung ke kabupaten dan setiap desa harus membuat laporan mengenai program yang telah dan akan dilaksanakan. Kabarnya, ada anggaran yang bakal dikucurkan. Asih berharap itu bukan hanya sekedar kabar yang menyenangkan warga tapi benar-benar nyata demi kemajuan desa Rangkat.

Sambil berusaha menenangkan diri, Asih berjalan diantara ruang-ruang yang masih gelap di kantor desa. Dia ingin sekejap saja bisa menghilangkan bayang Firman dalam benaknya, namun nampaknya sia-sia. Makin berusaha, wajah dan senyuman Firman makin jelas terlihat.

Asih mengerjapkan mata, berharap ilusi itu hilang tapi tetap saja sulit melepaskan diri dari bayang-bayang Firman.

“Tidak boleh seperti ini. Mas Firman datang untuk orang lain, bukan saya yang ingin dia temui..” suaranya lirih dengan mata berkaca-kaca namun dengan cepat dia mengusap matanya.

Langkahnya menuju dapur karena tiba-tiba saja lambungnya terasa perih. Dengan segelas teh hangat, Asih kembali keruangannya. Satu tegukan yang baru saja menghangatkan tenggorokannya, telah membuat semangatnya pulih. Sebentar lagi, Aa Kades akan membawa laporan ini, saya harus menyelesaikannya, batinnya penuh semangat.

Waktu terus berjalan dan sinar mentari mulai menerobos masuk kisi-kisi jendela. Ruangan yang semula dingin mulai terasa hangat. Asih rupanya tak menyadari perubahan tersebut, dia tetap serius mengetik. Nampak dua gelas telah kosong di sebelah komputer. Asih sekilas melihatnya lalu kembali mengetik sebelum akhirnya menarik nafas lega. Dia tersenyum saat menyandarkan tubuhnya.

“Akhirnya selesai juga..” seru Asih dengan perasaan lega.

Setelah data selesai di print dia bergegas meninggalkan kantor desa menuju rumah Aa kades. Baru saja Aa kades menelpon dan meminta data itu segera. Asih mempercepat langkahnya ketika bunyi pesan sms terdengar.

“Sabar Aa kades, saya sudah dalam perjalanan..” Asih berbicara sendiri sambil merogoh saku sweaternya. Pesan sms segera dia baca namun mendadak langkahnya terhenti.

Tersenyumlah. Simpanlah asa itu di hatimu.

Jadikan cobaan sebagai penguji hati.

Semoga ketegaran menyertai kita.

Dariku yang merindukanmu, Firman.

Asih terpaku menatap layar hape. Jantungnya berdetak cepat. Angin tiba-tiba terasa berhembus kencang dan seolah hanya dia sendiri yang saat ini berdiri di jalan. Sesaat Asih hanya bisa diam dan membaca berulang-ulang pesan tersebut. Dia teringat pesan yang sama saat Firman menghilang beberapa waktu yang lalu. Pesan yang menggetarkan hatinya. Membuat aliran darahnya sejenak terhenti.

Asih tersadar, perlahan dia menyimpan hape itu.

“Ini pasti hanya halusinasi. Pesan ini tak pernah ada.” Gumamnya lalu dengan langkah pelan menuju rumah Aa kades.

***

Tiba kembali di rumah, Asih meletakkan hape begitu saja diatas pembaringan. Dia masih percaya jika sms dari Firman hanya halusinasi. Asih tak ingin menghilangkan keraguannya dengan kembali melihat pesan tersebut.

“Pesan itu pasti tak ada.” Ucapnya sambil melangkah menuju kamar mandi.

Hingga sore Asih sama sekali tak  menyentuh handphone. Dia tak bergeming walau rasa penasaran sejak tadi menggodanya. Keinginan itu terus dia redam dengan menyibukkan diri mengerjakan pekerjaan rumah. Dia berusaha keras melupakan pesan dari Firman dan terus berkeyakinan kalau itu hanya halusinasi. Firman tak pernah mengirim pesan untuknya.

“Assalamu Alaikum.” Terdengar sapa seseorang. Asih menoleh dan tertegun melihat pemilik suara tersebut. Perlahan dia berdiri setelah sebelumnya jongkok membersihkan rumput di sekitar tanaman bunga. Asih gugup hingga lupa jika rumput masih dalam genggamannya.

“Wa Alaikum Salam, mas Firman?” Balasnya dengan suara gemetar. Asih memalingkan pandangan ke arah lain karena tak tahan menatap sepasang mata hitam yang terus memandangnya tak berkedip. Pemilik mata itu rupanya menyadari.

“Maaf, mbak Asih..” ucap Firman lalu mendekati Asih yang makin gugup.

“Silahkan masuk, mas Firman. Ayah ada didalam..” Asih mencoba mengusir rasa gugup dengan melangkah menjauh menuju teras.

“Pesan sms ku sudah mbak Asih baca?” tanya Firman sambil mengikuti langkahnya.

Asih menoleh. Pesan? Jadi pesan sms itu benar-benar nyata dikirim mas Firman untuknya?

“Pesan?”

“Iya, mbak Asih tidak menerima pesanku tadi pagi?” Firman nampak bingung.

Asih baru saja hendak menjawab ketika suara riang adiknya, Acik terdengar memanggil namanya.

“Mbak Asih!!! Ini aku bawakan duren!!!”

Keduanya berbalik melihat kedatangan Acik yang  menenteng empat biji durian. Keinginan menjawab pertanyaan Firman akhirnya terhenti dan hanya mengendap dalam benak Asih. Ekspresi Acik saat melihat Firman membuat Asih bimbang. Haruskah dia jujur atau membiarkan saja kesalahpahaman ini terus berlanjut? Jika ada Acik di dalamnya mungkin lebih baik dia mendiamkan saja masalah ini. Asih tidak tega menyakiti perasaan adiknya itu.

( Bersambung)

Kisah sebelumnya :

Terluka oleh Jarak dan Waktu Pemilik Hatiku Karena Kami Memiliki Ayah Merenda Ilalang Kering Ilalang dan Cintaku Belaian Embun Pagi Getar Suara Hati Dalam Bayangan Embun

Bunga Marginata

Hempasan Rasa Bimbang

Desa Rangkat menawarkan kesederhanaan dan cinta untuk anda

Ingin bergabung? silahkan klik  logo  di bawah ini..

sumber gambar disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun