Acik termangu membaca catatan di kertas selembar yang terselip di antara buku yang ada di meja kerja Asih di kantor desa. Entah apa artinya, Acik hanya bisa menebak sedikit dari kalimat-kalimat itu.
" Tumben mbak Asih menulis dalam bahasa Inggris. Apa ini kata-kata yang di salin ulang ataukah memang ungkapan hati dari mbak Asih?" tanyanya gusar. Acik merasa tidak tenang. Meski sulit dia mencoba memahami arti dari setiap kata dari tulisan tersebut.
Sedang membaca kertas itu, Asih muncul dengan wajah muram.
" Ada apa, mbak?" tanya Acik. Asih tak menjawab. Keinginan untuk menanyakan tentang kalimat yang sedang di bacanya akhirnya mengendap. Sikap Asih membuatnya berat bertanya. Lebih baik jangan sekarang, besok saja, batin Acik.
" Bagaimana kalau tiba-tiba mbak pergi?" tanya Asih tiba-tiba membuat Acik terlonjak kaget.
" Pergi kemana mbak Asih? maksud mbak Asih pindah?" Asih mengangguk. Acik tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
" Mau pindah kemana, mbak?"
" Pindah. Pindah tempat. Pindah selamanya."
" Mbak Asih bercanda ya?" Acik tertawa menutupi rasa gelisah yang tiba-tiba hadir. Tapi wajah Asih yang serius membuat Acik kembali tegang. Bukan sikap yang biasa, pikirnya. Dia yakin kali ini Asih benar-benar serius.
" Aku ingin di sini, tapi tak bisa memaksa diri kalau sudah waktunya tiba. Akan ada waktu di mana aku tidak bisa disini. "
" Maksud mbak?"