Mohon tunggu...
Asih Rangkat
Asih Rangkat Mohon Tunggu... lainnya -

Mewujudkan lamunan dalam tulisan...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kalung Inisial D ( ECR2#11)

28 Maret 2011   15:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:21 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1301330668431329390

[caption id="" align="alignleft" width="200" caption="Ilustrasi google.com"][/caption]

Pagi-pagi sekali Asih sudah berjalan keluar dari rumah. Dia menenteng keranjang plastik. Kabut yang masih menyelimuti Desa Rangkat membuat Asih menggigil dan sesekali melipat tangannya. Matanya memandang sekeliling. Banyak warga yang mulai berangkat menuju sawah dan kebun mereka. Asih tersenyum senang. Bahagianya menyambut pagi, gumam Asih. Mencari rejeki memang harus di mulai dari pagi hari.

Asih membuka dompetnya lagi. Dia mengeluarkan catatan belanjaan. Sambil berjalan dia membacanya berulang-ulang. Takut nanti ada yang terlewat. Asih kemudian memasukkan lagi catatannya saat tiba di gerbang desa. Dengan sabar, Asih menanti angkot yang biasa lewat di depan gerbang desa.

Mbak Asih? Mau ke pasar ya?” tegur mas Hans, hansip Desa Rangkat. Asih berbalik kaget. Nampak mas Hans dengan seragam hansipnya. Wajahnya terlihat kuyu. Mungkin semalam habis meronda.

Eh, iya mas Hans. Angkotnya belum datang juga. Takutnya kalau kesiangan, jualan di pasar pada tutup. Mas Hans habis ronda ya, semalam?”

Iya. Ini mau pulang tidur. Lho, di Desa Rangkat kan ada pasar juga? Mau beli apa sih?”

Eng...itu mas..Elva kan sudah dilantik jadi Sekretaris Desa. Saya mau buat selamatan..semacam syukuranlah atas terpilihnya Elva. Ala kadarnya sih. Rencananya mau buat nasi tumpeng. Bunda Selsa bersedia membantu. Nanti juga masaknya di rumah bunda Selsa.”

Perbincangan sepertinya sayang untuk dihentikan, tapi angkot telah berhenti di depan Asih. Asih kemudian pamit meninggalkan mas Hans yang terlihat sudah terkantuk-kantuk.

~

Tiba di pasar kota kecamatan, Asih kemudian berbaur dengan warga yang berbelanja. Asih mulai sibuk mencari bahan-bahan yang diperlukan. Tangannya memegang kertas berisi catatan belanjaan. Sementara matanya sibuk bolak-balik dari kertas ke deretan jualan para pedagang.

Asih terus berbelanja dengan semangat. Tak terasa waktu berlalu dengan sangat cepat. Sinar mentari mulai terlihat menembus kisi-kisi pasar sederhana yang ada di pusat kecamatan. Suasana dingin juga sudah berganti dengan panas. Nampak pedagang es cendol mulai rame di serbu pembeli. Warung-warung bakso dan soto ayam juga mulai terlihat kebanjiran pengunjung yang mulai merasa lapar. Teriakan-teriakan para supir yang mencari penumpang makin membuat pasar terasa ramai. Suasana yang tadi tidak terlalu padat dengan manusia kini mulai terasa sesak. Asih harus perlahan-lahan berjalan agar tidak menabrak orang yang ada didepannya.

Satu persatu bahan-bahan yang dia perlukan masuk ke dalam keranjangnya. Dia membaca lagi catatannya. Terasa ada yang kurang. Asih kemudian berhenti. Dia memeriksa kembali bahan-bahan yang telah dibelinya lalu mencocokkan dengan kertas catatannya.

Kalau model seperti ini, harganya berapa, mas.” Asih menoleh cepat. Dia serasa mengenal suara itu. Mata Asih membelalak senang. Ternyata persis disampingnya, kang Inin sedang jongkok di depan penjual aksesories. Di tempat itu juga bisa memesan ukiran nama pada gelang atau kalung.

Kang Inin?” tegur Asih sambil menggeser belanjaannya tepat disamping kang Inin. Asih juga akhirnya jongkok di dekat kang Inin. Wajah kang Inin juga tak kalah terkejutnya dengan Asih.

Mbak Asih? Kapan ke sini? Kok nggak bilang-bilang mau ke pasar? Tau begini kita boncengan dari desa Rangkat.” ucap kang Inin. Tangannya sedang memegang sebuah kalung yang terlihat indah.

Yaaa kang Inin. Kang Inin juga, lewat depan rumah nggak bunyikan klakson. Biasanya tiap lewat pasti klaksonnya bunyi. Saya jadi curiga nih. Kang Inin tidak suka lagi ya sama Elva?” Kang Inin berpaling, berusaha menyembunyikan ekspresi wajahnya yang sendu.

Gimana, mbak. Elva yang pindah ke lain hati. Padahal tuh, saya sudah bela-belain bantu dia supaya menang jadi ketua karang taruna. Ternyata pas dia tidak terpilih, saya ditinggal. Dia malah milih sama polisi gadungan itu, yang tidak jelas dari mana asalnya.”

Jangan sedih, kang. Namanya juga khilaf sesaat. Lama-lama juga balik nanti. Anggap Elva sedang mengembara mencari pembanding hati. Nanti dia akan menyadari, kalau ada hati kang Inin yang begitu setia menanti.”

Nah, ini sudah jadi ukiran kalungnya, mas.” ucap si penjual sambil memperlihatkan kalung itu ke Kang Inin. Tapi belum sempat kang Inin memegangnya, Asih lebih dulu menyambarnya.

Inisialnya kok D, kang? Nama kang Inin kan inisialnya I bukan D.” Asih memperhatikan kalung itu dengan heran.

Akh, mbak Asih bisa saja. Ini pesanan teman kok. “ Kang Inin lalu berdiri. Dia kemudian membayar harga kalung itu lengkap dengan jasa ukir hurufnya.

Sudah selesai belanjanya mbak? Kalau sudah kita pulang sama-sama.”

Asih mengangguk cepat. Sambil berjalan mengikuti kang Inin, Asih tak berhenti memikirkan inisial dari kalung itu. Dia penasaran. Sebenarnya kalung itu untuk siapa? ***

________________________________________________________________

DESA RANGKAT  menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda,  datang, bergabung  dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun