Mohon tunggu...
Asih Rangkat
Asih Rangkat Mohon Tunggu... lainnya -

Mewujudkan lamunan dalam tulisan...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Sekedar Pinta

5 Maret 2015   22:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:07 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringkali aku meminta suamiku untuk membelikan sebuah hiasan kupu-kupu warna perak ungu. Hiasan yang bagiku sangat indah. Namun Mas Fandi hingga kini belum juga memenuhi permintaanku itu. Lupa adalah alasan yang selalu menjadi jawaban ketika aku menanyakan tentang pesananku padanya. Mungkin bagi suamiku permintaanku itu terlalu mengada-ada. Apalagi dia seorang pria, ada rasa sungkan untuk mencari benda yang aku pesan. Padahal aku telah menyebutkan alamat toko yang menyediakan hiasan kupu-kupu tersebut.

Aku juga sebenarnya bisa membeli sendiri di toko langgananku. Tapi bukan itu tujuanku. Dalam permintaanku itu ada perwakilan asa. Sebentuk tanda cinta dari suamiku untukku. Mengukur kadar perhatiannya padaku yang akhir-akhir ini kurasakan sangat berkurang. Permintaan itu hanya simbol. Adakah perhatian suamiku masih sama seperti dulu ataukah perasaannya telah berubah seperti sikapnya yang acuh menanggapi permintaanku.

Namun  sore ini kembali untuk yang kesekian kalinya, aku harus menelan kekecewaan. Seperti biasa, lupa menjadi alasan utama yang meluncur manis tanpa rasa bersalah dari Mas Fandi.

“Maaf, sayang. Mas kelupaan tadi. Besok saja ya..” Ucap suamiku ketika berpapasan denganku di ruang tengah lalu masuk ke dalam kamar. Aku hanya bisa terdiam mengamati tubuhnya yang terlihat lesu sepulang kerja. Walau kesal namun aku maklum dengan kondisinya yang kelelahan.

****

Keesokan harinya saat sarapan.

“Jangan lupa lagi ya,mas.” Kataku mengingatkan. Suamiku  tersenyum lalu menggiyakkan. Dirinya paham jika yang aku maksud adalah hiasan kupu-kupu.

Aku masih menaruh harapan. Meski khawatir namun sepanjang hari aku tetap tidak ingin menelpon untuk sekedar mengingatkannya kembali. Semoga kali ini dirinya tidak lupa.

Kutunggu hingga malam, namun suamiku tidak juga kembali dari kantor. Aku akhirnya menelpon.

“Halo, mas.”

“Ini siapa?” Suara lembut seorang perempuan mengagetkanku.

“Ini siapa?” Aku balik bertanya dengan perasaan tak nyaman. Mendengar seorang wanita menjawab telepon suami sendiri, wajar jika aku heran.

“Aku istrinya. Maaf ya, Mas Fandi baru tiba dari luar kota. Baru saja istrahat. Boleh tahu dengan siapa saya bicara?”

Aku terkejut dan bingung hingga tak menjawab. Kuperhatikan lagi nomor handphone yang kutuju, benar ini nomor handphone mas Fandi. Lalu wanita yang mengaku sebagai istrinya itu siapa? Bukankah hanya aku istri Mas Fandi?

“Halo...halo...” suara wanita itu masih terdengar sebelum aku memutuskan sambungan telepon.

Lama aku terpaku seperti baru saja melihat hantu. Mas Fandi dari luar kota? Sejak kapan mas Fandi keluar kota? Bukankah seminggu yang lalu dia baru saja kembali dari dinas luar? Lalu mengapa ada wanita lain yang mengaku sebagai istrinya dan mengatakan Mas Fandi baru kembali dari luar kota?

Aku teringat dengan Blackberry yang sejak tadi aku charge dan lupa aku on kan. Aku dan suamiku lebih sering berkomunikasi melalui BBM. Aku berlari cepat masuk ke dalam kamar. Kuraih Blackberry lalu dengan cepat menekan tombol on. Beberapa detik terasa lama bagiku. Kurasakan tubuhku gemetar  karena gugup menanti.

Saat sinyal pada benda putih itu telah benar-benar sempurna, berbagai jenis suara berdesakan muncul dan saling tumpang tindih. Tapi bukan itu yang menjadi fokus utamaku. Aku mengklik pesan BBM yang masuk. Ada nama Mas Fandi.

Rina sayang, mendadak mas ditugaskan keluar kota. Maaf pesananmu belum bisa mas belikan. Nanti sekembali mas dari dinas luar ya. Sabar ya sayang. Kemungkinan mas dua minggu dinasnya. Jaga dirimu baik-baik ya, I Love You.

Blackberry terlepas dari genggamanku. Butiran bening dari kedua mataku menetes seketika namun segera kuhapus dengan jemariku. Aku masih tidak percaya jika selama ini Mas Fandi memiliki wanita lain. Kutarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannnya perlahan. Kuyakinkan diriku untuk tetap berpikiran positif tentang suamiku. Mungkin saja wanita itu salah sebut atau mungkin saja dia bercanda. Aku berandai-andai berharap aku yang salah mendengar ucapan wanita itu.

Setelah menenangkan diri beberapa saat, aku mencoba menghubungi handphone Mas Fandi kembali. Namun kali ini aku telah mempersiapkan mentalku jika yang kudengar nanti benar-benar hal yang mengejutkan.

“Halo...” Sengaja tidak kusebut kata mas seperti saat aku menelepon tadi.

“Halo...” Suara lembut wanita yang tadi menerima teleponku kembali terdengar. Aku menghela nafas sebelum bicara.

“Benar ini handphone Pak Fandi?” Suaraku sengaja kuatur senatural mungkin.

“Benar. Mbak yang tadi menelpon ya?”

“Benar saya, bu. Cuma tadi saya kaget. Saya kira saya salah sambung hehehehe..” Aku merasa diriku berubah menjadi detektif saat ini.

“Tidak apa-apa, mbak. Ini benar nomor handphone Mas Fandi. Saya istrinya. Boleh tahu mbak namanya siapa? Nanti saya sampaikan ke suami saya. Biasanya jam sepuluh dia baru bangun untuk makan. Maklum baru dari luar kota, masih kelelahan.”

Aku makin cemas dan gelisah. Cara wanita itu menuturkan tentang Mas Fandi membuatku merinding. Kurasakan telingaku panas mendengarnya. Namun aku tetap berusaha bersikap tenang meski didera emosi yang amat sangat. Aku harus menuntaskan masalah ini jika benar sebuah kesalahan pahaman. Bagaimanapun aku tidak boleh menuduh suamiku tanpa bukti yang jelas.

“Saya Hesti, bu. Direktur meminta saya untuk menghubungi Pak Fandi.”

“Oh, ya. Dari kantor mana ya?”

Otakku berpikir cepat mencari kantor yang bisa mewakili sandiwaraku.

“PT. Cahaya Karya Persada,bu.” Aku menyebutkan nama kantor tempat temanku Hesti bekerja. Mas Fandi tidak mengenal Hesti karena aku juga baru bertemu beberapa minggu yang lalu dengannya.  Selama ini Hesti bekerja di propinsi lain dan baru saja di pindahkan ke kantor cabang di kota ini.

“Begini,bu...” Aku melanjutkan ucapanku.

“Ada titipan dari direktur  kami yang akan diberikan ke Pak Fandi. Boleh tahu alamat rumah Ibu dimana?”

Wanita itu tidak merespon ucapanku. Kudengar suara keributan dibelakangnya seperti suara anak-anak. Saat mendengar  wanita itu menegur anak-anak tersebut agar diam sejenak membuat jantungku berdegup kencang. Anak-anak?!?!?! Apakah mereka anak-anak Mas Fandi? Hatiku kian berkecamuk.

Tidak lama kemudian wanita itu menyebutkan alamat rumahnya. Aku mengucapkan terima kasih kemudian menutup telepon. Kupandangi kertas bertuliskan alamat rumah Mas Fandi versi wanita itu. Meski bukti handphone memastikan jika suami wanita itu adalah benar Mas Fandi, tapi aku tetap memilih berprasangka baik. Setidaknya itu adalah sebuah doa dan harapan dariku. Semoga ini hanyalah kesalahpahaman semata.

Tanpa menunggu esok hari, aku menelpon taksi agar bisa segera menemukan alamat rumah wanita itu. Alamat rumah yang tidak asing lagi bagiku karena dulu saat sekolah menengah, aku sering berkunjung ke rumah teman yang tinggal di kompleks tersebut. Aku tidak kesulitan menemukannya. Setelah memastikan alamat tersebut, aku kembali ke rumah dengan batin nelangsa.

Aku makin yakin jika Mas Fandi ada didalam rumah tersebut setelah melihat mobil yang biasa dia pakai terparkir  di teras depan garasi. Rumah wanita itu terlihat mewah. Berbeda sekali dengan rumah yang kami tempati sekarang ini, type 54 dan belum di renovasi. Mas Fandi seringkali beralasan jika saat ini dirinya sedang mengumpulkan uang agar bisa merenovasi rumah kami. Apakah ini hanya alasan untuk menutupi perbuatannya?

Aku duduk dipembaringan sambil menatap foto perkawinan kami yang berukuran besar dan terpajang di dinding kamar. Lembaran kenangan kembali terbuka dalam ingatanku. Pertemuan dengan Mas Fandi lalu dilanjutkan dengan masa pacaran yang singkat sebelum akhirnya kami menikah. Sikapnya yang lembut dan penuh perhatian membuatku merasa sebagai istri yang paling bahagia di dunia ini. Meski kami belum dikaruaniai anak tidak mengurangi kebahagiaan kami sebagai pasangan suami istri.

Namun sikap Mas Fandi belakangan ini kurasakan sangat berbeda dari biasanya. Semula aku berpikir  suamiku merindukan sosok anak kecil dalam rumah kami. Pemikiran itu kemudian berubah setelah sikapnya berubah acuh terhadapku. Sekarang aku baru menemukan alasan dari perubahan sikapnya itu. Ternyata ada wanita lain selain diriku yang mengaku sebagai istrinya. Entah aku yang di duakan ataukah wanita itu. Aku hanya tahu saat mas Fandi menikah denganku statusnya lajang dan belum pernah menikah. Mungkinkah Mas Fandi telah menipu aku dan keluargaku?

Mungkin karena saat itu aku terlalu gembira hingga menerima alasan apapun yang dikemukakan oleh suamiku.  Sewaktu kami menikah, tak ada satupun rekan karja Mas Fandi yang hadir. Alasan Mas Fandi karena kami menikah diluar kota. Kami menikah ditempat ayahku ditugaskan jadi wajar saja jika tak ada satupun teman kerja Mas Fandi yang datang. Selain itu tak ada keluarga yang menemani Mas Fandi. Hanya dua orang pria yang diakui sebagai sahabatnya hadir menyaksikan pernikahan. Kedua orang tuanya tidak bisa hadir karena mereka berada jauh di Sumatera dan sedang sakit hingga  tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan yang jauh.

Berbeda dengan statusnya. Soal pekerjaan sepertinya tak ada yang disembunyikan Mas Fandi dariku. Hanya saja malam ini aku mulai merasakan keanehan yang baru aku sadari. Mas Fandi bertugas di bagian keuangan dan sering mendapat tugas untuk mengaudit kantor cabang. Itu pengakuannya padaku sejak kami pacaran dan kemudian menikah empat tahun yang lalu.

Jika mendadak ditugaskan, Mas Fandi tidak perlu kembali ke rumah untuk mengambil perlengkapan. Di kantornya telah ada sekoper pakaian lengkap dengan semua peralatan mandi yang memang khusus disiapkan jika mendadak akan tugas. Karena itu aku tidak menaruh curiga sedikitpun setiap kali mas Fandi keluar kota dan hanya mengirim pesan singkat via BBM padaku. Namun enam bulan terakhir, aku merasa aneh dengan jadwal tugas luarkota yang rutin dua kali dalam sebulan. Jadi hampir lima belas hari dalam sebulan, mas Fandi tidak bersamaku. Apakah benar suamiku tugas keluar kota?

Keanehan yang lain, Mas Fandi  tidak pernah sekalipun mengajak aku ke kantornya. Ketika acara ulang tahun kantornya, suamiku beralasan jika acara tersebut dirayakan secara sederhana dan hanya dihadiri oleh karyawan kantor saja. Aku akhirnya tidak bertanya lagi saat perayaan ulang tahun kantor Mas Fandi diadakan tahun berikutnya. Percuma menanyakan hal yang aku sudah tahu jawabannya.

Sendirian memikirkan masalahku membuat kepalaku panas hingga aku tidak bisa tertidur padahal telah lewat tengah malam.  Aku kemudian mengambil air  wudhu lalu sholat tahajjud memohon petunjuk pada Allah SWT. Airmataku tak henti-hentinya mengalir jatuh membasahi mukena dan sajadah.  Aku benar-benar merasa tak berdaya, hampa dan kehilangan semangat. Aku bersujud sambil berlinang airmata. Memohon ampun segala dosa yang selama ini mungkin tanpa sengaja telah aku lakukan hingga Allah memberikan ujian seberat  ini. Aku bingung hendak memulai darimana menyelesaikan masalah kami.

Lalu seperti menemukan kekuatan. Aku bangun dari sujud lalu melepaskan mukena. Kutatap wajahku didepan cermin. Tak ada daya tarik sama sekali karena mataku telah sembab setelah menangis semalaman. Melihat wanita kuyu yang ada di dalam cermin,mendadak aku merasa iba padanya. Nasehat apa yang bisa aku berikan pada wanita itu agar dia bisa bangkit kembali dan menjadi wanita yang percaya diri? Aku tersenyum. Aku tahu nasehat apa yang bisa aku berikan padanya.

****

Dua minggu kemudian.

“Mas, kapan-kapan kalau mas dinas luar kota. Aku ikut ya? Aku bosan sendirian terus di rumah.”  Mas Fandi nampak gusar mendengar permintaanku.

“Lalu, bisnismu gimana sayang?” Aku tersenyum seraya merangkulnya dari belakang.

“Bisa kutinggal kok. Libur sesekali bersama suami ke luar kota, tidak apa-apa kan?”

Aku tidak melihat ekspresi wajah suamiku ketika mendengar permintaanku. Tekadku sudah bulat, aku akan ikut sandiwara yang dilakukan suamiku. Entah sampai kapan sandiwara ini akan berakhir. Apakah secepatnya atau mungkin juga lama namun yang pasti aku akan menikmati setiap kebersamaan kami dan mulai mempersiapkan hatiku jika kelak hal buruk terjadi.

“Hiasan kupu-kupu pesananku, sudah mas belikan?” Kulepaskan rangkulanku lalu duduk di sebelah Mas Fandi.

“Astaga, sayang. Mas lupa. Maaf, ya. Atau bagaimana kalau kamu sendiri yang membelinya? Mas seringkali lupa.”

Aku merengut mendengar ucapan suamiku. Ada masalah besar dikepalaku dan hanya menunggu waktu untuk meledakkannya. Mendengar kata-kata Mas Fandi aku nyaris lepas kontrol. Ingin rasanya aku berteriak dan bertanya siapa wanita yang menjawab teleponnya. Aneh, seharusnya jika suamiku memeriksa handponenya, dia tentu akan melihat panggilan masuk dariku dua minggu yang lalu. Apakah Mas Fandi sama sekali tidak mengecek panggilan masuk dihandphonenya?

Selesai makan malam, Mas Fandi mengajakku berbicara di ruang tengah. Kami duduk berdampingan. Aku merasa heran saat jemarinya menyentuh lembut punggung tanganku. Walau saat ini suamiku terlihat sangat lembut dan perhatian namun aku sama sekali tak bisa menepiskan sosok wanita yang mengaku sebagai istri Mas Fandi. Pikiranku masih dipenuhi suara lembut wanita itu.

“Sayang, bagaimana pendapatmu jika ada seorang suami menikah lagi?”

Aku  tak menjawab hanya tersenyum mendengar pertanyaan suamiku. Antena curiga dikepalaku seketika muncul.

“Kok tersenyum? Mas minta pendapatmu?”

“Tergantung suami siapa dulu dong, mas. Kalau itu suami orang lain, ya terserah. Mungkin itu sudah kesepatan mereka sebagai suami istri. Tapi kalau suamiku yang menikah lagi, aku tidak setuju mas.”

“Begitu ya? Seandainya Mas yang menikah lagi,bagaimana?”

“Kenapa mas mau menikah lagi?” tanyaku berusaha menutupi rasa panik dalam hatiku.

Mas Fandi bangkit  lalu  beranjak  ke dalam kamar kemudian keluar membawa map warna kuning. Map itu diletakkan di atas meja dihadapanku lalu duduk disampingku. Aku tak bisa menebak tujuan suamiku menyodorkan map itu.

“Bukalah, lalu baca. Aku perlu menyampaikan hal ini agar dirimu tidak kaget.”

Aku meraih map itu lalu membukanya. Mataku membelalak kaget saat membaca tulisan berkas perceraian pada lembaran didalamnya. Lebih tak percaya lagi ketika melihat yang tertera adalah nama suamiku menggugat cerai diriku. Aku tak melanjutkan membaca, kupandangi suamiku lekat-lekat.

“Ini maksudnya apa mas? Apa mas sedang bercanda? Kita akan bercerai?” tanyaku masih tak percaya dengan berkas yang baru saja aku baca.

Suamiku menggeleng.

“Mas tidak sedang bercanda. Ini serius Rina.”

Aku seperti baru saja mendengar dentuman keras di telingaku.Berkas itu langsung kulemparkan ke lantai. Emosiku memuncak. Darahku benar-benar mendidih. Mataku kurasakan panas karena tak sanggup lagi menahan amarah yang tertahan dalam dada.

“Apa salahku mas?!?!?!” teriakku histeris. Aku tidak peduli jika warga seluruh kompleks mendengarnya.

“Apa karena selama empat tahun ini kita belum juga dikaruniai anak, lalu mas berpikiran untuk bercerai?!?!“ Airmataku mulai menetes.

Mas Fandi hanya menunduk.

“Dokter sudah mengatakan, kita berdua tidak ada masalah. Hanya Allah belum memberikan kita kesempatan menjadi orang tua. Kita harus berusaha dan bersabar, mas. Bukan malah bercerai. Apa karena mas sudah tidak mencintai aku lagi?”

“Maafkan mas, Rina. Tapi  beberapa bulan ini mas sudah memikirkan dan mempertimbangkan hal ini.”

“Benarkah? Jadi karena itu sikap mas sangat aneh belakangan ini? Ternyata mas berniat menceraikan aku? Tapi kenapa mas? Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik bagi mas. Jika karena aku belum hamil juga, itu bukan salahku, mas. Lagipula jika kita saling mencintai, kita bisa mengadopsi anak. Kedua orang tuaku juga punya anak setelah menikah selama enam tahun. Apakah mas tidak bisa bersabar sedikit lagi?”

“Ini bukan soal anak. Ini soal lain.”

“Lalu masalahnya  apa? Apakah telah ada wanita lain yang menggantikan aku dihati mas?”

Mas Fandi tak menjawab.

“Jawab mas! Apa karena sudah ada wanita lain yang menjadi istri mas diluar sana? karena itu mas ingin menceraikan aku?”

Suamiku menoleh kaget melihatku.

“Apa yang kamu bicarakan? Istri yang mana?”

“Justru itu yang ingin aku tanyakan, mas. Mengapa ada wanita lain yang menjawab panggilan dihandphone mas dan mengaku sebagai istrimu? Aku tidak salah dengar. Aku sudah memastikan dengan mendatangi alamat rumah wanita itu. Dan benar  di rumah itu terparkir mobil mas. Padahal mas baru saja mengirim pesan BBM kalau akan tugas keluar kota. Ternyata tugas luar kota itu mendatangi rumah istri mas yang lain.”

“Darimana kamu dapatkan kabar itu Rina?” Suamiku masih berusaha berkelit namun wajahnya mulai terlihat pucat sementara aku makin emosi.

“Mas kaget karena aku sudah tahu kalau ternyata selama ini mas sudah memiliki istri lain? Siapa yang lebih dulu jadi istri mas? Dia atau aku?.... Ohhh..., tentu saja dia. Mas kan sudah punya anak dari wanita itu. Tentu saja dia yang lebih dulu. Tega sekali mas membohongi aku dan keluargaku, mengaku sebagai bujangan saat menikahiku.” Airmataku berderai. Aku histeris sambil menangis.

“Rina tenangkan dirimu, biar mas jelaskan masalah yang sebenarnya. Mengambil kesimpulan sendiri tanpa mendengar penjelasan dariku, itu hanya akan menyakiti kita berdua.”

“Aku yang sakit mas! Bukan mas! Wanita mana yang rela suaminya memiliki wanita lain. Aku juga tidak mau! Seandainya sejak awal aku tahu mas sudah menikah, aku tentu tidak mau pacaran dan menikah dengan mas!”

“Status mas masih bujangan saat menikah denganmu, Rina.” Jawaban suamiku membuatku terpana mendengarnya.

“Dan wanita yang kamu sebutkan tadi, dia adalah Nezya, adik ipar mas. Istri dari adik kembar mas, Ervandi.” Aku makin terperangah. Apa yang disampaikan Mas Fandi membuatku penasaran.

“Lalu kenapa wanita itu yang mas nikahi? bukankah dia istri adikmu? Dia wanita bersuami mas.” Aku menyela sambil tetap menangis.

“Adikku meninggal enam bulan lalu. Nezya dan anak-anaknya juga baru pindah ke kota ini. Mas bertemu mereka secara tak sengaja di mini market. Mas kaget ketika seorang anak laki-laki berlari ke arah mas sambil berteriak kegirangan. Anak itu tiba-tiba memeluk mas sambil memanggil papa. Tidak lama kemudian dua anak lain menyusulnya, anak perempuan dan laki-laki. Keduanya juga ikut memeluk mas dan memanggil papa. Mas mengira mereka mungkin salah orang namun ketika mas melihat Nezya, mas jadi paham. Anak-anak itu tentu mengira jika mas adalah papa mereka.”

“Kalau adik mas sudah meninggal kenapa harus mas yang menggantikannya? Bukankah mas sudah menikah? Kenapa dia tidak mencari orang lain saja untuk menggantikan almarhum suaminya. Bukan malah merusak rumah tangga saudara sendiri?” kataku penuh emosi.

“Dulu saat kita menikah. Tak ada satupun perwakilan keluarga yang hadir. Kamu tahu kenapa? Karena mas sudah membuang diri mas dari keluarga. Mas sakit hati karena orang yang sangat mas cintai dan mencintai mas, justru dipilihkan orang tua mas untuk menjadi jodoh Ervandi.”

“Maksud mas, Nezya wanita yang mas cintai itu?” Suamiku mengangguk dengan mata berkaca-kaca.

“Keluarga mas dan keluarga Nezya sejak lama akrab. Karena itu tak ada yang tahu jika kami menjalin hubungan, apalagi kami menjalaninya secara diam-diam. Mas baru selesai wisuda dan berencana melamar Nezya ketika ayah memberitahu jika Ervandi akan menikah dengan Nezya. Tanggal pernikahan mereka telah ditentukan. Mas tidak sanggup bertahan di rumah saat itu. Dengan alasan ada panggilan kerja, mas pergi merantau, mengasingkan diri. Memutuskan segala kontak hubungan dengan keluarga. Mas tidak menyalahkan orang tua mas apalagi Ervandi yang diam-diam mencintai Nezya. Mas menyalahkan diri sendiri karena tidak berterus terang sejak awal. Penyesalan itu membuat mas tak ingin tahu kabar apapun tentang keluarga mas. Bahkan ketika Ervandi meninggal, mereka tidak tahu hendak menghubungi siapa untuk memberitahu mas.”

“Lalu apakah mbak Nezya tahu mas sudah menikah? Apakah dia yang meminta mas menikahinya?” Suamiku menggeleng.

“Mas yang melamarnya. Nezya tidak tahu jika mas telah menikah ..”

“Kalau begitu biar aku saja yang memberitahu mbak Nezya, mas. Setelah  dia tahu,  terserah dia yang memutuskan. Menerima atau menolak mas..”

“Kami sudah menikah secara agama, Rina. Karena itu status mas adalah suaminya sekarang.” Kurasakan mataku nyaris melompat mendengar pengakuan suamiku.

“Jadi ucapan mbak Nezya kalau mas itu suaminya ternyata benar.  Mas tidak sedang bercanda kan?”

“Mas tidak bercanda. Nezya tahu atau tidak tentang pernikahan kita, mas tidak peduli. Mas tetap ingin kita bercerai Rina. Mas tidak ingin menyakitimu namun kehadiran Nezya seperti memberi kesempatan kedua bagi mas untuk mewujudkan impian mas mengarungi bahtera kehidupan bersamanya. Apalagi disana ada anak-anak yang butuh figur papanya. Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti tentang kematian. Mereka bahkan belum pernah mengunjungi makam papanya.”

Airmataku makin deras mengalir saat mendengar ucapan Mas Fandi. Hatiku terluka mengetahui lelaki yang telah menjadi suamiku selama empat tahun ini ternyata lebih mencintai wanita lain daripada diriku. Aku beranjak dari kursi menuju kamar. Kamar yang mungkin tak akan pernah menjadi milik kami lagi.

“Maafkan mas,Rina.”

Suara Mas Fandi menahan langkahku. Kurasakan tubuhku tak lagi bertenaga. Kupandangi wajah Mas Fandi. Tatapan matanya kini berbeda. Tak lagi berbinar seperti saat pertama kali kami bertemu. Aku tidak menemukan sinar cinta lagi disana.

“Pernahkah mas mencintaiku sepenuh hati?” tanyaku pilu.

“Pernah, sebelum kehadiran Nezya. Sekali lagi maafkan mas, Rina.”

Aku berbalik lalu melangkah gontai menuju kamar kami.  Semua pakaian yang ada dalam lemari aku keluarkan. Kumasukkan secara serabutan kedalam koper. Aku tak bisa lagi mengatur dengan baik dan melihat apa saja yang telah aku bereskan ke dalam koper. Mas Fandi tidak menyusulku ke dalam kamar. Aku tidak peduli lagi. Dalam benak suamiku yang ada hanya berkas perceraian, hal yang membuatku naik pitam jika mengingatnya.

“Sayang, kamu mau kemana?” tiba-tiba Mas Fandi muncul dikamar. Aku tidak suka caranya memanggilku dengan kalimat sayang. Sekarang kata-kata itu terdengar menggelikan.

“Aku mau pulang ke orang tuaku.” Jawabku ketus.

“Kenapa harus pergi? Ini rumahmu. Mas berikan padamu. Mas yang akan pergi dari rumah ini.”

“Untuk apa aku tinggal disini, mas? Toh kita akan bercerai. Aku tidak mau tinggal di rumah ini lagi.”

“Rumah ini tetap milikmu. Terserah apakah nanti akan kamu tinggali atau jual. Mas sudah berikan padamu.”

Aku tidak berkata-kata lagi. Rasanya malas menanggapi perkataan Mas Fandi. Kuseret koperku satu persatu keluar dari kamar. Hanya sebagian barang yang aku bawa. Selebihnya akan aku ambil kemudian. Aku tidak ingin berada di rumah ini lebih lama lagi dan seatap dengan lelaki yang akan menceraikanku.

“Jangan membantuku mas! Jangan mengantarku!” kataku saat kulihat Mas Fandi siap menyeret koperku.

“Itu tambah melukai hatiku. Biarkan aku pergi.” Mas Fandi kemudian mundur.

Aku berjalan gontai keluar rumah sambil menyeret kedua koperku. Setelah menelpon taksi, aku kembali masuk ke dalam rumah terus menuju ruang tengah. Kuraih pulpen dan berkas yang tadi disodorkan Mas Fandi padaku. Tanpa ragu aku menandatangani berkas itu kemudian kuletakkan kembali di atas meja. Kulihat mas Fandi berdiri di pintu kamar, menatapku dengan wajah sendu.

“Aku pergi, mas. Maafkan segala tingkah lakuku yang mungkin menyakiti mas. Jika ada hal yang ingin mas sampaikan padaku, mas tahu dimana harus mencariku.”

Kataku sebelum berbalik melewati ruang tamu terus menuju teras. Kembali kuseret kedua koperku menuju pintu pagar. Tubuhku benar-benar tak bertenaga. Hanya kemarahan yang menggerakkanku saat ini. Saat membuka pintu pagar, tangisku kembali pecah. Apalagi saat aku berbalik memandang rumah kami. Rumah yang selama empat tahun tahun ini telah menjadi tempat kami memadu cinta. Rumah yang hanya akan jadi kenangan cinta kami yang harus berakhir.

Ketika taksi mulai bergerak perlahan, kulihat  Mas Fandi keluar dari rumah kami. Salah, itu bukan lagi rumah kami. Entah itu rumahku atau rumah Mas Fandi, saat ini aku tidak memikirkan soal pembagian harta gono gini. Membenahi perasaanku lebih penting daripada sekedar pembagian harta. Aku hanya ingin segera tiba di rumah orang tuaku dan menumpahkan segala kesedihanku. Segera kupalingkan wajahku dari Mas Fandi. Hatiku terluka meninggalkannya. Kupejamkan mata agar bisa bertahan tak melihatnya.

Hatiku makin sakit jika mengingat kedua orang tuaku. Membayangkan  wajah mereka yang murung saat melihatku membuatku semakin sedih. Empat  tahun yang lalu ayah dan ibu sangat gembira menikahkan aku, kini aku kembali sebagai istri yang akan diceraikan suaminya. Malangnya nasibku. Sopir taksi beberapa kali menatap heran padaku. Aku yakin siapapun itu akan miris melihat keadaanku. Meski tadi aku berusaha tegar namun kini ketegaranku kembali runtuh.

“Pak, tolong ke toko Souvenir Bunda di jalan Pramuka.” Ucapku pada pak sopir. Pria paruh baya itu kemudian mengarahkan mobilnya menuju jalan pramuka.

“Kita sudah sampai, bu.” Aku menatap ke arah toko yang  masih terlihat ramai. Tidak mungkin aku keluar dengan mata sembab seperti ini. Aku hanya akan jadi pusat perhatian mereka.

“Pak, bisa minta tolong? Belikan saya hiasan kupu-kupu warna perak ungu. Saya tidak bisa masuk ke toko dengan wajah seperti ini. Bapak mengerti kan?”

“Bagaimana cara saya menemukannya, bu?”

“Bapak tanya saja sama karyawan toko. Mereka sudah tahu dimana bisa menemukan hiasan itu.” Kataku sambil menyerahkan lembaran uang seratus ribu.

Pak Sopir kemudian keluar. Kusandarkan  tubuhku di jok mobil. Pandanganku menyusuri toko Souvenir langgananku. Mas Fandi sering melewati jalan ini jika menuju kantornya. Karena itu aku merasa sedih ketika berulangkali dia melupakan pesanku untuk membelikan hiasan kupu-kupu. Karena tak lagi ada cinta, maka semua hal menjadi tak berarti termasuk diriku. Permintaanku menjadi hal yang biasa baginya.

Aku menangis sesunggukan ketika Pak Sopir menyerahkan hiasan kupu-kupu warna perak ungu. Mobil kemudian melaju diiringi derai tangisku. Aku tak pernah menyangka, justru lelaki lain yang membelikanku hiasan ini. Seorang sopir taksi bukan Mas Fandi, lelaki yang sebentar lagi akan menjadi lelaki biasa saja bagiku. Lelaki yang mencampakanku tanpa rasa bersalah. Mencampakan cinta kami yang mungkin memang tak pernah terbingkai dalam hatinya.

*****

Sumber gambar disini

14255369431452355117
14255369431452355117

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun