Mungkin sedikit sekali di antara kita menyadari bahwa Presiden RI ketiga BJ Habibie adalah peletak dasar reformasi jaminan sosial Indonesia. Berbeda dengan berita penerbangan, politik dan pemerintahan, berita jaminan sosial sepi menyebut nama beliau. Di Google pun tak muncul satu arsip yang menyimpan artikel tentang jasa beliau dalam mereformasi jaminan sosial.
Ketika menganalisa peraturan perundang-undangan terkait jaminan sosial pada tahun 2004 lampau, terbersit satu pertanyaan di pikiran saya, "apakah reformasi politik pasca lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998 meletakkan jaminan sosial sebagai hak konstitusi?"
Saya buka UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999) versi digital, saya ketik kata kunci 'jaminan sosial' pada kotak pencarian.
Kejutan! Di kotak jawaban tertulis ada 4 kata jaminan sosial tersebar dalam UU HAM yang disahkan oleh Presiden Habibie. Undang-undang tersebut berbunyi:
Pertama, dalam Pasal 41 ayat (1) tertulis: "Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh".
Kedua, dalam Pasal 62 tertulis: "Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya".
Ketiga dan keempat, dalam Penjelasan Pasal 41 ayat (1) tertulis: "Yang dimaksud dengan "berhak atas jaminan sosial" adalah bahwa setiap warga negara mendapat jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan negara."
Luar biasa! Dalam waktu 15 bulan pasca berakhirnya rezim Orde Baru, jaminan sosial bukan lagi insentif atau "hadiah" yang memikat para pekerja agar mau bertahan, bersemangat, dan giat bekerja untuk memberikan keuntungan bagi perusahaan.Â
Pernah kah terlintas di pikiran mengapa banyak sekali orang yang berbondong-bondong untuk menjadi pegawai negeri meskipun gajinya tidak seberapa? Hari tua yang terjamin dengan dana pensiun TASPEN serta akses pelayanan kesehatan yang luas hampir tak ada batasan dari asuransi kesehatan ASKES adalah kunci. Begitu pula dengan karyawan swasta. Jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kesehatan menjadi daya tarik untuk tetap bertahan bekerja di perusahaan dengan upah yang  jauh dari cukup.
Dengan disahkannya UU HAM, jaminan sosial menjadi hak asasi dan hak konstitusi setiap warga negara yang harus dijamin oleh negara. Umur, status pekerjaan, dan kinerja tidak lagi menjadi tolak ukur atas hak orang tersebut untuk mendapatkan jaminan sosial.Â
Tak ada lagi seseorang yang kehilangan hak jaminan kesehatan atau jaminan pensiun karena ia diberhentikan dipecat dari pekerjaan. Semua orang mempunyai akses untuk mendapatkan kehidupan yang lebih terjamin, dari sejak lahir hingga wafat.
Bahkan, UU HAM mengatur dengan tegas bahwa jaminan sosial adalah hak anak. Walaupun anak telah termasuk dalam katagori warga negara, pembentuk UU HAM ingin memastikan bahwa hak anak atas jaminan sosial dapat terpenuhi secara layak dan sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, dan spiritualnya, tanpa disangkut pautkan dengan status pekerjaan orang tua. Hal tersebut semakin kuat setelah Pasal 41 ayat (1) dan Pasal 62 UU HAM tahun 1999 dimuat dalam perubahan kedua UUD 1945 (tahun 2000) Pasal 28H:
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
serta  amandemen keempat UUD 1945 (tahun 2002) Pasal 34 ayat (2):Â
Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Dalam waktu yang singkat, Pak Habibie mengembalikan jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian ke ranah martabat manusia. Cikal bakal bagi pendirian Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)