Mohon tunggu...
Asih Aryani
Asih Aryani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Profil asli

Saya adalah mahasiswa IAIN Pontianak yang masih belajar. Akan terus berproses dan berprogres.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hadiah untuk Ayah Ibu

15 November 2021   16:45 Diperbarui: 16 November 2021   11:16 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Keluarga diibaratkan nafas bagi Ayu. Tanpa keluarga, ayah dan ibu khususnya, Ayu mengakui bahwa ia mungkin tak sanggup menghadapi rumitnya dunia lagi. Sedangkan bagi Ina, keluarga adalah kesunyian. Tidak ada kebahagiaan, selain rasa sepi yang ia rasakan ketika bersama keluarganya. Meski keduanya bersaudara, sudut pandang mereka terhadap keluarga masing-masing berbeda.

Tepat hari itu, wisuda Ayu digelar. Ayah dan ibunya berbinar-binar, hari itu adalah waktu yang telah mereka tunggu sejak lama. Keluarga mereka terbilang cukup kaya, uang tercukupi, barang barang mewah mudah dijangkau untuk dibeli. Tapi kebahagiaan kosong bagi Ina  Meskipun berkumpul bersama keluarga di meja makan, ia merasa hanya sendiri di ruangan itu. Hampa. Kosong. 

Sejauh mata memandang, sejauh telinga mendengar, seluas otak berpikir hanya ada sunyi. Ina tidak hadir dalam wisuda kakaknya. Anggapan orang orang mengenai anak bungsu itu prioritas bagi orang tuanya dipatahkan oleh Ina. Ia tak merasa bahwa begitu pada realitanya.

Sejak usia PAUD, Ina selalu pulang sekolah sendiri ke rumah neneknya karena letak yang tidak jauh dari tempat ia bersekolah. Hal itu berlanjut sampai ia duduk di bangku Sekolah Dasar. Memasuki kelas dua Sekolah Dasar, orang tuanya sudah membelikan Ina sepeda untuk pergi dan pulang sekolah sendiri. Berbeda dengan Ayu, sedari ia kecil selalu dibersamai oleh ibunya. Bahkan ibunya sering menjemput 15 menit sebelum waktu pulang sekolah Ayu tiba.

Ina sering bolos sekolah ketika waktu SMP. Ayah dan ibunya beberapa kali dipanggil ke sekolah untuk diberikan surat peringatan. Namun ketika ditanya ke mana dia pergi sehingga tidak masuk sekolah, Ina tidak pernah mau menjawab. Diam. Menunduk. Kemudian masuk ke dalam kamarnya untuk merebahkan pikiran dan hatinya.

Ketika dimarahi oleh ayah dan ibunya, Ina selalu membaca surah Al-Ankabut ayat 64. Hanya dengan membaca surah tersebut, pikirannya menjadi tenang.

Memasuki bangku SMA, perilaku Ina semakin tidak dapat dikontrol oleh kedua orang tuanya. Setelah pulang sekolah, ia tidak pernah meminta izin atau memberi kabar pergi ke mana, dan pulang ke rumah ketika orang-orang telah selesai menunaikan sholat shubuh. Ayah dan ibunya semakin tidak menyukai Ina, bahkan sempat mengusir gadis pendiam itu dari rumah jika ia terus mengulang kesalahan yang sama. 

Seminggu membaik. Ina menuruti kemauan ayah dan ibunya, pulang sekolah langsung ke rumah, tidak keluyuran tanpa kabar. Setelah seminggu yang baik itu, ia kembali lagi melakukan hal yang sama, hal yang tidak disukai kedua orang tuanya. 

Bahkan Ina pernah tidak pulang selama sebulan ke rumahnya, dan hanya menitipkan pesan kepada ayah dan ibunya agar tidak perlu repot-repot mencari keberadaannya. Semenjak kejadian tersebut, ayah dan ibunya tidak lagi perduli pada keadaan Ina. Apa yang dia lakukan, dan bagaimana keadaannya, tidak lagi penting untuk diketahui. 

Sedangkan Ayu, kakaknya, sudah tinggal di Jakarta sejak SMP karena mendapatkan beasiswa. Ayah dan ibu mereka sering bolak balik dari Samarinda ke Jakarta setiap dua bulan satu kali hanya untuk mengecek keadaan putri sulung mereka. Ayu juga yang terlampau tak acuh terhadap adiknya, tidak pernah bertanya kabar tentang Ina. 

Pembicaraannya hanya seputar kegiatan sehari harinya di Jakarta, bagaimana ia begitu menjaga pola makan agar tetap memiliki tubuh ideal, tidak pernah sekalipun terbesit dalam benaknya untuk berpikir "Bagaimana kabar adikku?"

Kemudian pada hari wisuda Ayu di Jerman, ayah dan ibu Ayu sibuk mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa ke sana. Ina dalam sepinya merenung, tiba-tiba darah keluar dari hidungnya. Ina tetap santai, ia tidak panik atau berteriak minta tolong seperti seharusnya yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Bahkan ia sembunyikan itu dari ayah dan ibunya. Ia hanya minta maaf untuk tidak dapat ikut pergi ke Jerman menghadiri wisuda Ayu.

"Aku titip salam saja padanya,"ucapnya sepintas di depan pintu kamar kedua orangtuanya.

"Cobalah untuk menjadi adik yang berbakti meskipun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat." Ibunya berujar dengan nada sindiran yang tajam.

"Disuruh untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi, tidak mau. Melanjutkan usaha orang tua sendiri di perusahaan, juga tidak becus. Mau jadi apa masa depan kau, Ina?" tambah ayahnya menggelengkan kepala seraya menatap bahu Ina yang semakin menjauh dari daun pintu kamar.

Lagi-lagi Ina melantunkan surah Al-Ankabut andalan untuk menenangkan hatinya. Tiba tiba kepalanya pusing, darah kembali keluar dari hidungnya. Ia bersegera lari ke kamar mandi untuk berwudhu, hatinya terus berucap istigfar dan zikir. Namun sakit dalam dirinya sudah tidak dapat disembunyikan lagi, tubuh Ina langsung tumbang ke lantai. 

Azan subuh berkumandang. Ina perlahan membuka matanya. Ia berada di rumah sakit. Hanya ia sendiri. Ayah dan ibunya langsung terbang ke Jerman untuk menghadiri wisuda Ayu setelah mengantarkan Ina ke rumah sakit. Matanya terpejam, air mata mulai tumpah. Apakah begitu tidak penting dirinya bagi ayah dan ibu? Bahkan ketika ia sakit pun tidak didampingi. Ponselnya berdering, menampilkan nama Ustazah Hilmina. 

"Assalamualaikum Ina ...," Terdengar suara dari seberang mengucapkan salam. "Kamu dimana, Nak? Siap untuk syahadah 30 juz besok hari?" tambah Ustazah Hilmina. 

"Waalaikumussalam. Mohon maaf ustazah, Ina sedang di rumah sakit. Bolehkah jika syahadahnya ditunda sampai orang tua saya pulang dari Jerman?" pinta Ina, suaranya masih lesu.

Percakapan berlangsung lancar. Diakhiri dengan saling mendoakan antara keduanya. Ina mencari nomor ponsel orangtuanya yang tidak diberi nama. Ia menelpon namun tidak ada jawaban.

Besok harinya telpon masuk dari Ayah Ina, mereka mengatakan sedang sibuk mempersiapkan yudisium untuk wisuda Ayu besok. Ina hanya diam mendengarkan cerita ayahnya, bahkan kesempatan untuk dia berbicara hampir tidak ada. Percakapan berakhir dengan diam dan doa dari dalam hati Ina untuk kedua orangtuanya.

Seminggu berlalu ... Kedua orangtua Ina beserta Ayu sudah pulang ke Indonesia. Mereka berencana untuk mengadakan perjalanan ke Raja Ampat. Tanpa perduli dengan kondisi Ina yang baru membaik, ayah, ibu, dan Ayu tetap tak acuh.

Ina kembali ke pesantren untuk melakukan syahadah 30 juz Alquran mutqin yang telah di perjuangkannya selama sepuluh tahun. Ia sudah berusaha untuk mengajak keluarganya ke pesantren tanpa memberi tahu maksud dan tujuannya. Tetapi keluarganya lebih memilih untuk tetap berangkat ke Raja Ampat.

Syahadah berlangsung tenang. Ayat-ayat Alquran dilafalkan dengan lancar dan indah. Ina nampak tanpa beban, bulir air mata mulai jatuh di pipinya. Sedangkan di tempat lain, keluarganya sedang dilanda ketakutan karena cuaca buruk di atas sana. Dengan ketetapan Allah, ketika surah An-Nas dilantunkan oleh Ina dengan air mata yang menggenang di gamisnya, Allah memanggil kedua orangtua beserta kakaknya untuk pulang ke pangkuan Allah.

_Dan tidaklah kehidupan yang kamu perjuangkan itu adalah sesuatu yang pasti akan kamu tinggalkan_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun