Defisit RKAT (Rencana Kerja Anggaran Tahunan) 2018 Rp 12,1 triliun dan bawaan dari RKAT 2017 sebesar Rp 4,4 triliun. Jadi total defisit yang harus ditanggung oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional) adalah sebesar Rp 16,5 triliun.Â
Defisit yang ditanggung BPJS Kesehatan itu diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Nila Faried Anfasa Moeloek yang didampingi Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS) Kesehatan Fachmi Idris dalam rapat dengar pendapat BPJS Kesehatan dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada hari Senin, 17 September 2018.
Rapat itu dihadiri juga oleh wakil dari Departemen Keuangan dan DJSN (Dewan Jaminan Kesehatan Nasional).
Untuk mengatasi beban itu, selain BPJS Kesehatan lebih mengefisienkan lagi iuran JKN, juga berharap pemerintah memberikan bantuan.
Pada Juni 2018, pendapatan BPJS Kesehatan yang berasal dari PBI (Penerima Bantuan Iuran) mencapai Rp 12,73 triliun dan dari non-PBI mencapai Rp 27,64 triliun.
Untuk pembayaran, RKA 2018 mencapai jumlah Rp 87,81 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari untuk rawat inap tingkat pertama Rp 1,12 triliun, dan rawat jalan tingkat pertama Rp 14,58 triliun.
Lalu juga untuk rawat inap tingkat lanjutan Rp 43,75 triliun, rawat jalan tingkat lanjutan Rp 23,88 triliun, serta untuk promosi dan preventif sejumlah Rp 475,65 miliar.
Untuk realisasi - bukan RKA - per 30 Juni 2018 mencapai jumlah Rp 43,3 triliun. Rawat inap tingkat pertama Rp 518 miliar, rawat inap lanjutan Rp 23,5 triliun, rawat jalan tingkat pertama Rp 6,74 triliun, dan biaya untuk promosi dan preventif Rp 81,8 miliar.
Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf mengibaratkan bahwa BPJS Kesehatan dengan kendaraan mobil Mercedez seri C plus yang terbaik, namun bensinnya tidak ada. Bahan bakarnya masih premium yang menyebabkan jalan mobil menjadi nyut-nyutan.
Dede Yusuf mengatakan kalau BPJS Kesehatan tidak bisa selalu disuntik/dibantu oleh pemerintah karena cakupan yang luas.
"Kami paham BPJS kesehatan punya sistem, kebijakan harus sustain" kata Dede Yusuf.