Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Karyawan -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

rindu tak berujung rasa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

BPJS Harus Mencari Dana Lain, Jangan Selalu Disuntik Pemerintah

19 September 2018   02:34 Diperbarui: 19 September 2018   08:11 936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Defisit RKAT (Rencana Kerja Anggaran Tahunan) 2018 Rp 12,1 triliun dan bawaan dari RKAT 2017 sebesar Rp 4,4 triliun. Jadi total defisit yang harus ditanggung oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional) adalah sebesar Rp 16,5 triliun. 

Defisit yang ditanggung BPJS Kesehatan itu diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Nila Faried Anfasa Moeloek yang didampingi Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS) Kesehatan Fachmi Idris dalam rapat dengar pendapat BPJS Kesehatan dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada hari Senin, 17 September 2018.

Rapat itu dihadiri juga oleh wakil dari Departemen Keuangan dan DJSN (Dewan Jaminan Kesehatan Nasional).

Untuk mengatasi beban itu, selain BPJS Kesehatan lebih mengefisienkan lagi iuran JKN, juga berharap pemerintah memberikan bantuan.

Pada Juni 2018, pendapatan BPJS Kesehatan yang berasal dari PBI (Penerima Bantuan Iuran) mencapai Rp 12,73 triliun dan dari non-PBI mencapai Rp 27,64 triliun.

Untuk pembayaran, RKA 2018 mencapai jumlah Rp 87,81 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari untuk rawat inap tingkat pertama Rp 1,12 triliun, dan rawat jalan tingkat pertama Rp 14,58 triliun.

Lalu juga untuk rawat inap tingkat lanjutan Rp 43,75 triliun, rawat jalan tingkat lanjutan Rp 23,88 triliun, serta untuk promosi dan preventif sejumlah Rp 475,65 miliar.

Untuk realisasi - bukan RKA - per 30 Juni 2018 mencapai jumlah Rp 43,3 triliun. Rawat inap tingkat pertama Rp 518 miliar, rawat inap lanjutan Rp 23,5 triliun, rawat jalan tingkat pertama Rp 6,74 triliun, dan biaya untuk promosi dan preventif Rp 81,8 miliar.

Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf mengibaratkan bahwa BPJS Kesehatan dengan kendaraan mobil Mercedez seri C plus yang terbaik, namun bensinnya tidak ada. Bahan bakarnya masih premium yang menyebabkan jalan mobil menjadi nyut-nyutan.

Dede Yusuf mengatakan kalau BPJS Kesehatan tidak bisa selalu disuntik/dibantu oleh pemerintah karena cakupan yang luas.

"Kami paham BPJS kesehatan punya sistem, kebijakan harus sustain" kata Dede Yusuf.

Kebutuhan sebesar Rp 16,5 triliun, lalu di bailout cuma Rp 4,9 triliun. "Sesudah Desember kita kejang-kejang lagi" katanya.

Kejadian defisit yang melanda BPJS tersebut berimbas pula kepada industri, tentu dalam hal ini adalah industri farmasi di Indonesia. Ya, oleh karenanya BPJS jadi sering terlambat untuk membayar klaim obat-obatan kepada industri farmasi itu.

Hal itulah yang menyebabkan GPFI (Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia) mengeluarkan surat yang diajukan kepada Menteri Kesehatan dengan nomor 098/Ext-/PP-GPFI/VIII/2018 tentang Hutang Jatuh Tempo Obat dan Alkes (Alat Kesehatan) JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) Belum Dibayar Mencapai Rp 3,5 triliun terhitung Juli 2018.

Direktur Eksekutif GPFI, Dorojatun Sanusi membenarkan hal itu, "Ya, GPFI sudah mengirim surat kepada Menkes, cc ke berbagai pihak yang terkait", Senin (17/9/2018).

Industri farmasi dan distributor obat-obatan sudah tentu akan kesulitan untuk mendistribusikan obat ke rumah sakit, jika klaim pembayaran oleh BPJS terlambat. Kalau hal tersebut dibiarkan maka pihak rumah sakit bakal memberi anjuran pilihan kepada pasien untuk membeli obatnya di apotek luar dengan biaya yang lebih mahal.

Bukan tidak mungkin bagi penyedia fasilitas kesehatan mereka bakal mempertahankan eksistensinya dengan cara cost sharing yang akan membebani pasien JKN.

Sementara dari pihak BPJS Kesehatan sendiri, BPJS sudah menyampaikan usulan bailout (dana talangan) yang diperlukan guna menutup defisit.

Dari pihak pemerintah, Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menandatangani PMK (Peraturan Menteri Keuangan) nomor 113/PMK.02/2018 perihal tata cara pencairan, penyediaan, serta pertanggungjawaban dana cadangan program JKN.

BPJS Kesehatan saat ini sedang menjadi perhatian masyarakat bukan karena dinaikkan iuran atau tambahan fasilitas jamkes, tetapi karena kinerja finansialnya.

Bantuan dari pemerintah seharusnya tidak bisa selalu diandalkan, BPJS mesti mencari sumber dana yang lain guna menanggulangi defisit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun