Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Karyawan -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

rindu tak berujung rasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimana Cara Menghitung Bonus Demografi?

31 Oktober 2018   04:44 Diperbarui: 31 Oktober 2018   05:24 2307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penduduk Indonesia diprediksi akan membengkak menjadi 345 juta jiwa pada 2030. Siapkah kita menghadapinya?

Saat ini, dampak dari kepadatan jumlah penduduk sudah terasa.

Di kota besar seperti Jakarta, keramaian di ruang publik, kemacetan di jalan raya, dan antrean di fasilitas umum adalah pemandangan lumrah. Bisakah Anda bayangkan seramai apa nanti, ketika penduduk yang kini berjumlah 265 juta jiwa terus bertambah?

Tahun 2020-2030 memang diprediksi sebagai periode ketika Indonesia mengalami bonus demografi atau demographic dividend. Inilah kondisi saat proporsi penduduk usia produktif meningkat dan melebihi proporsi penduduk usia non-produktif.

Penduduk usia produktif sendiri adalah kelompok usia 15-64 tahun, sedangkan penduduk usia non-produktif adalah mereka yang berusia 0-14 dan penduduk usia 65 tahun ke atas.

"Kelompok usia muda mendominasi penduduk Indonesia saat ini," ungkap Drs. Bayu Setiawan, MPS, MA, peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI.

Menurut pemaparan Bayu, fenomena ini sesungguhnya menguntungkan, karena beban ketergantungan penduduk usia produktif kepada penduduk non-produktif menjadi semakin ringan.

Lebih rinci Bayu menjelaskan, berdasarkan data BPS, Sensus Penduduk 2010 mengungkap beban ketergantungan penduduk Indonesia adalah 51,3 persen. Artinya, sejak 2010, Indonesia sudah berpeluang untuk mendapatkan bonus demografi.

Bagaimana cara menghitung bonus demografi?

Bayu menjelaskan bahwa ini bisa didapat dengan menggunakan dependency ratio atau angka beban ketergantungan, yang menyatakan jumlah penduduk usia non-produktif yang ditanggung oleh penduduk usia produktif.

"Semakin tinggi angka beban ketergantungan, semakin besar beban yang harus ditanggung untuk membiayai penduduk usia produktif. Semakin kecil presentasi beban ketergantungan, semakin kecil pula beban penduduk usia produktif yang menanggung penduduk usia non-produktif," ujar Bayu.

Di sini, akan terlihat kecenderungan angka beban ketergantungan semakin menurun di bawah 50. Artinya, 100 orang yang produktif akan menanggung sekitar 50 orang non-produktif, atau di bawah 50 orang.

Semakin kecil angka beban ketergantungan, maka kita semakin berpeluang mendapatkan bonus demografi.

Namun, bonus demografi bisa berisiko menjadi bencana demografi.

Karena itu, untuk dapat menikmati manfaat bonus demografi, maka harus dilakukan investasi jangka panjang dalam hitungan 10-20 tahun, ungkap Turro S. Wongkaren, PhD, Kepala Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.

"Pada 2028-2030, diprediksi ada sekitar 11 juta angkatan kerja. Bayangkan kalau mereka harus menganggur, meski mereka berpendidikan dan tinggal di perkotaan," tegas Turro.

"Tanpa kesibukan dan penghasilan, bukan tak mungkin mereka akan berulah dan mengganggu ketertiban. Itulah sebabnya, bonus demografi terkait erat dengan kondisi ketenagakerjaan," ujar Turro.

Sayangnya, Indeks Kompetitif Global (GCI) Indonesia saat ini berada di peringkat 37 dari 137 negara. Ini adalah indikator yang dianggap sangat rendah dari sisi ketenagakerjaan. Sementara itu, kondisi pasar kerja kita berada pada rangking 123.

Selain ketenagakerjaan, masih ada yang tak kalah penting, yakni kualitas kesehatan dan pendidikan, juga karakter dan rasa aman. Bayangkan para profesional yang selalu dihantui ancaman PHK lantaran kondisi usaha yang tidak stabil, ancaman keamanan, dan kekhawatiran lain.

"Itu sebabnya, stabilitas perekonomian dan keamanan melalui demokrasi yang terjaga dan tidak kebablasan sangat perlu dijaga," tandas Turro.

Faktor lain yang juga penting adalah angka harapan hidup yang semakin tinggi. Saat ini, angka harapan hidup di Indonesia adalah 70 tahun atau lebih. Dalam jangka panjang, ini tentu akan memengaruhi struktur kependudukan.

Angka harapan hidup ini, menurut Bayu, merupakan salah satu indikator mengukur tingkat kesehatan penduduk. Penduduk yang sehat sangat berarti bagi pencapaian bonus demografi karena ini merupakan salah satu syarat utama, selain penduduk yang mempunyai pendidikan tinggi.

"Bonus demografi perlu diimbangi dengan peningkatan pendidikan dan kesehatan, serta peluang usaha atau kesempatan kerja yang seluas-luasnya," Bayu mengingatkan. "Jangan sampai waktu terjadi puncak demografi, penduduk usia produktif tidak mempunyai pekerjaan sehingga menimbulkan banyak pengangguran."

Selain itu, ledakan penduduk terjadi karena tingkat kelahiran yang cepat sehingga pertambahan jumlah penduduk meningkat pesat. Karena itulah, program KB berperan besar dalam menekan ledakan penduduk.

Perlu dipahami bahwa ledakan penduduk memicu sejumlah masalah, seperti tingkat kemiskinan penduduk yang semakin tinggi serta kekurangan pangan yang berdampak pada kekurangan gizi.

Belum lagi problem kebutuhan dasar lain, seperti rumah yang semakin sulit didapat karena kemampuan daya beli berkurang, sehingga muncul daerah kumuh di perkotaan sebagai akibat mahalnya tanah dan rumah.

Sementara itu, daya tampung wilayah berkurang dengan banyaknya jumlah penduduk. Keterbatasan fasilitas dan ketidakseimbangan lapangan pekerjaan akibatnya banyak pengangguran tentu akan berimplikasi sosial, seperti meningkatnya kriminalitas dan konflik sosial.

Bayu menekankan, manfaat bonus demografi dengan jumlah penduduk produktif yang besar melebihi jumlah penduduk non-produktif tentu membawa keuntungan.

Namun, perlu diingat bahwa penduduk produktif dalam jumlah besar ini harus berkualitas. Artinya, mereka harus menjadi penduduk yang sehat, berpendidikan, punya pekerjaan layak, dan lebih sejahtera. Angkatan kerja produktif juga harus terserap di pasar kerja secara baik.

Demikian pula nanti, setelah puncak bonus demografi terjadi dan penduduk lanjut usia meningkat. Tentu ini juga harus diantisipasi sebelumnya, bagaimana mewujudkan penduduk lansia yang berkualitas dan tidak menjadi beban.

Harapannya, puncak bonus demografi bisa kita lalui dengan baik, dan besarnya penduduk produktif dapat berdampak positif serta memberikan keuntungan ekonomi yang semakin baik.

Di sinilah pentingnya menabung dan berinvestasi di usia produktif sebagai bekal di hari tua. Program KB juga perlu dilanjutkan untuk menjaga tingkat kelahiran dan menjaga stabilitas penduduk sehingga tidak terjadi ledakan penduduk.

"Persiapkanlah pendidikan anak sejak dini dan sebaik mungkin. Jaga kesehatan, tingkatkan keterampilan dan keahlian agar bisa bersaing dengan tenaga kerja asing, serta jeli melihat peluang usaha," pungkas Bayu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun