Masyarakat diharapkan tenang , sehubungan dengan terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Kendati diprediksikan bahwa harga barang-barang konsumsi bakalan naik signifikan.
Kurs 1 dolar US adalah Rp 14.927 menurut JISDOR (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate) sampai hari Rabu (5/9).
Tren dolar yang terus perkasa, mengakibatkan sejumlah Bank bahkan telah menjual 1 dolar AS dengan harga Rp 15.000.
Asja, seorang pedagang daging di Pasar Rumput, Jakarta, mencemaskan tren ini. "Harga tetap saja, sepi, apa lagi kalau harga naik. Dulu saya bisa menjual 50 sampai 60 kilogram, sekarang 20 kilo saja tidak habis," katanya.
Tapi, beberapa pedagang tahu dan tempe di beberapa kota sudah merasakan dampak pelemahan rupiah ini.
Seperti di Pasar Ciawi, Bogor, Jawa Barat, pasokan tahu dan tempe mulai melambat.
Beberapa pedagang di Banyumas, Jawa Tengah, merasa cemas kalau harga kedelai naik apalagi melonjak, pedagang tahu dan tempe itu akan merugi.
Bahan baku kedelai sampai saat ini masih masif diimpor, terutamanya dari Amerika Serikat.
Ekonom Agustinus Prasetyantoko, dari Universitas Atma Jaya, Jakarta, mengemukakan pandangannya, pedagang tahu dan tempe akan merasakan imbas kenaikan dolar, karena bahan bakunya, kedelai masih diimpor.
Lalu apakah yang mendorong naiknya harga dolar AS itu? Menurut Presiden Joko Widodo depresiasi nilai rupiah itu didorong oleh faktor eksternal seperti perang dagang antara AS dan Cina, kenaikan suku bunga AS, serta krisis ekonomi yang melanda Argentina dan Turki.
Apakah menurut pendapat Anda, masyarakat kita harus menghindari pembelian dolar untuk menekan supaya rupiah tidak semakin lemah? Himbauan tersebut boleh saja, tapi segala upaya untuk menghindar pelemahan rupiah tidak akan langsung berdampak.