Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Karyawan -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

rindu tak berujung rasa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Cincin Saturnus, Objek Paling Memukau di Tata Surya

7 September 2018   04:44 Diperbarui: 7 September 2018   04:54 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertama ditemukan Galileo empat abad lalu, cincin Saturnus adalah objek paling memukau di tata surya. Kini, analisis terbaru mengungkap bahwa di era dinosaurus, planet raksasa itu tidak bercincin.

"Bahkan dengan mata telanjang, Saturnus bisa terlihat sama terangnya dengan Venus, dan dapat dilihat jelas cukup lama," tandas Matija Cuk dari SETI Institute. "Jika dinosaurus memiliki penglihatan setajam burung, mereka pasti dapat melihat planet di langit." 

Manusia muncul pada waktu yang tepat untuk melihat planet ini lengkap dengan cincin agungnya. Planet raksasa lain di tata surya - Jupiter, Uranus, dan Neptunus - juga memiliki cincin, namun tidak seterang dan semegah cincin Saturnus.

Nah, observasi terbaru yang dibuat Cassini - sebelum satelit tersebut akhirnya "pensiun" akhir tahun lalu - menguak bahwa cincin Saturnus ternyata tergolong belia di tata surya. Usianya baru 100-200 juta tahun.

Ini berarti, cincin Saturnus jauh lebih muda dari planet raksasa tersebut, yang terbentuk 4,5 miliar juta tahun lalu bersama benda tata surya lain. Mamalia adalah satu-satunya kelompok makhluk hidup yang berkembang setelah cincin ini muncul. Makhluk lain - ikan, reptil, burung, tanaman - muncul lebih dulu.

Sejak satelit Voyager mendekati Saturnus di awal 1980-an, para ilmuwan telah bertanya-tanya apakah cincin Saturnus ikonis tersebut muncul bersamaan dengan terbentuknya tata surya.

"Pertanyaannya, apakah cincin ini lama atau baru?" tanya Bonnie Buratti dari Jet Propulsion Laboratory. "Sebagian besar ilmuwan meyakini bahwa cincin ini terbentuk dari benturan. Tapi, kapan persisnya ini terjadi - sudah lama atau baru-baru saja?"

Data Voyager menyarankan bahwa cincin tersebut tidaklah berat, yang merupakan petunjuk bagi usianya yang muda. Dari pengukuran sebagian massa Mimas, bulan kecil Saturnus, ilmuwan mendapati bahwa cincin planet tersebut tidak memiliki cukup massa untuk menyerap debu gelap, dan tak akan bertahan selama miliaran tahun.

Terlebih lagi, bulan-bulan kecil yang mengelilingi perimeter cincin tersebut bergerak menjauh dari planet terlalu cepat untuk berada di sana sepanjang seluruh keberadaan Saturnus. Meski demikian, tidak ada yang bisa menemukan bagaimana sistem cincin yang begitu muda bisa terbentuk di sekeliling Saturnus.

Sebaliknya, membentuk cincin planet relatif mudah. Dahulu kala, benda-benda planet melesat di berbagai penjuru tata surya seperti bola biliar yang bergerak mirip permainan pinball. Banyak tubrukan terjadi, termasuk di sekitar Saturnus, untuk kemudian menghasilkan lingkaran yang terdiri dari batuan es seperti sekarang.

"Seluruh dinamika yang katastrofis terjadi di awal," ujar Cuzzi. Lantas, saat sistem tata surya menua, segala sesuatu menjadi tenang. Saat ini, tak mudah menemukan komet atau asteroid yang cukup besar untuk menjadi pembawa cincin di orbit Saturnus.

Misteri bertambah ketika tim ilmuwan Cassini mulai menganalisis data mereka setelah satelit tersebut hancur.

Selama aksi finalnya mengeksplorasi Saturnus, Cassini melakukan serangkaian orbit terobosan. Saat mengarungi ruang antara Saturnus dan cincin-cincinnya, satelit tersebut secara hati-hati mengukur tarikan gravitasi dari planet maupun cincin, yang digunakan untuk menentukan massa cincin.

Data menyarankan, sekali lagi, bahwa cincin tersebut agak standar - ia mengandung sekitar 40 persen dari massa Mimas. Namun, ada kejutan: ketika Cassini berusaha mengintip ke interior Saturnus, ia menemukan anomali gravitasi yang aneh, yang membuat tim ilmuwan kesulitan untuk menegaskan massa cincin tersebut.

"Ada yang sangat ganjil tentang interior Saturnus, yang tampaknya tak bisa dipahami siapa pun," tutur Cuzzi.

Selama 13 tahun di dalam sistem Saturnus, Cassini menemukan bahwa ada lebih banyak partikel debu yang bertubrukan dengan sistem Saturnus dari yang diperkirakan ilmuwan selama 30 tahun lalu.

Satelit tersebut juga berhasil memastikan bahwa sebagian besar butiran debu itu berasal dari benda es yang gelap yang berada di luar orbit Neptunus. Ini membuat kondisi lebih mustahil bagi cincin tersebut untuk tetap terang; semakin tua usia cincin, semakin gelap pula ia semestinya.

Jadi, dengan mengukur seberapa banyak partikel debu gelap yang ditangkap Cassini, ilmuwan bisa menentukan seberapa tua usia cincin Saturnus. Hasilnya? Kalkulasi tim peneliti memperkirakan bahwa cincin tersebut terbentuk antara 100 dan 200 juta tahun lalu.

Jika Saturnus memang baru-baru ini saja memakai cincin, sulit untuk menjelaskan bagaimana itu terjadi, mengingat kurangnya komet atau asteroid raksasa yang bisa bertubrukan dengan Saturnus.

Di sinilah Matija Cuk dari timnya beraksi. Bagaimana, mereka bertanya, jika yang terjadi adalah bukan Saturnus mengikis benda asing, melainkan bahwa planet tersebut melahap salah satu bulannya sendiri?

Menurut model Cuk tersebut, Saturnus dan koleksi bulan-bulan esnya berderap mengelilingi matahari selama miliaran tahun, hingga suatu hari, sekitar 100 juta tahun lalu, gravitasi matahari mendorong sebagian dari bulan-bulan es terdalam tersebut.

Gravitasi bekerja bahkan melampaui jutaan mil yang memisahkan Saturnus dan bintangnya, dan model Cuk menunjukkan bahwa ada bagian paling efektif dalam orbit planet di mana bulan-bulan es kecil tersebut dapat diusik oleh matahari.

Yang pasti, cincin Saturnus tak akan ke mana-mana dalam waktu dekat - meski kemungkinan mereka tak akan lagi seterang dan sejelas saat ini.

Akankah cincin ini hilang dalam 100 juta tahun ke depan? Tidak. Mereka cukup stabil untuk bertahan dalam waktu lama. Namun, mereka akan terus meredup.

"Sangat menarik untuk menyadari betapa dinamis tata surya kita," ujar Cuzzi. "Sebagian besar ilmuwan berasumsi bahwa apa yang kita lihat di luar sana, alam semesta, adalah permanen. Faktanya justru sebaliknya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun