Vonis penjara 18 bulan yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Medan kepada Meliana, wanita yang mengeluhkan speaker mesjid adzan di Tanjung Balai, Sumut, dianggap berlebihan oleh sejumlah kalangan.
Pasalnya, sejumlah pelaku penyerangan umat beragama hingga pembakaran rumah ibadah kerap divonis yang lebih ringan, bahkan bebas.
Tapi perwakilan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumatera Utara menilai wanita itu semestinya dijatuhi hukuman yang lebih berat.
Meliana dituduh sebagai pemicu perusakan massal kepada sejumlah vihara dan kelenteng di kota tersebut pada 2016.
Adalah Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Paramadina, Sadiman Ahmad, menyebutkan putusan PN kepada wanita itu mengusik rasa keadilan.
Sadiman menilai, ketimbang kasus lain, tafsir penistaan agama tersebut longgar, tak tahu ukuran pasti.
"Kasus pembunuhan seperti di Cikeusik dan Sampang, penyerangan, dan pembakaran rumah ibadah, jelas-jelas merugikan orang," tutur Sadiman (Rabu, 22/8).
Kasus Cikeusik (2011) dan Sampang (2012 dan 2018) adalah kejadian yang menimpa Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Sebagian dari pemeluk Jemaah tewas pada peristiwa ini.
Tiga pelaku pembunuhan kasus Cikeusik dijatuhi hukuman tiga sampai enam bulan penjara. Sementara pelaku penggerak kericuhan di Sampang dibebaskan dari semua tuduhan.
Adapun, sebelumnya tujuh pelaku pembakaran dan perusak kelenteng dan vihara di Tanjung Balai di 2016 divonis satu sampai lima bulan penjara.
Putusan untuk Meliana diketok pada 21 Agustus 2018. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo , mengatakan wanita etnis Cina itu terbukti menodai agama Islam.