Setiap jelang 17 Agustus, banyak penjual musiman yang menggunakan gerobak menjajakan bendera merah putih pelbagai ukuran, hingga umbul-umbul merah putih. Juga tiang bendera ataupun tiang umbul-umbul dari bambu yang dicatat warna merah putih.
Ada juga penjaja yang kreatif, mereka melengkapi gerobaknya dengan speaker dengan tape yang mendengungkan lagu-lagu perjuangan.
Hal itu dimaksud untuk menarik minat pembeli. Selain itu, lagu-lagu perjuangan tersebut sebagai penghibur di telusuran sepanjang menjajakan dagangannya di cuaca terik Jakarta.
Tidak hanya disitu. Di lampu-lampu merah Jakarta, banyak juga pedagang berbagai aksesoris berbentuk bendera merah putih berukuran kecil untuk dipasang di dalam kaca mobil. Sedangkan untuk sepeda motor, pula disediakan bendera merah putih seukuran pesawat telepon.
Dari pemandangan itu, pikiran teringat pada sejarah ibu Fatmawati, di mana beliau adalah salah seorang istri dari Presiden pertama RI Soekarno, yang berasal dari Bengkulu.Â
Bu Fatmawati yang menjahit bendera pusaka merah putih, yang dikibarkan untuk pertama kalinya, pada waktu itu, Jum'at 17 Agustus 1945 sekitar jam 10.00 siang. Tepatnya di jalan Pegangsaan Timur no 56 Jakarta. Sesudah Soekarno yang didampingi Hatta membacakan teks proklamasi atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia ke seluruh penjuru dunia.
Oleh karena usia, saat ini bendera pusaka yang dijahit Bu Fat hanya ditunjukkan secara simbolis saja, sementara yang dikibarkan adalah replikanya dari kain sutera. Sekarang ini bendera pusaka tersebut disimpan di Monumen Nasional. Sedangkan mesin jahit yang merajut bendera pusaka tersebut saat ini tersimpan di rumah ibu Fatmawati Soekarno di rumah berbentuk panggung di jalan Fatmawati no 10, Bengkulu. Mesin jahit merek "Singer" itu berwarna merah menyala diletakkan di sudut ruangan berlatar belakang foto-foto hitam putih yang bernilai sejarah.
Pada waktu pengibaran bendera pusaka itu tampak ibu Fatmawati mengenakan kerudung, Soekarno memakai peci hitam, celana dan baju serba putih, sama dengan Bung Hatta (namun tak berpeci). Sedang pengibar bendera adalah Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA (Pembela Tanah Air).
Bu Fat yang merupakan ibunda dari Guruh, Sukma, Rahma, Mega, dan Guntur itu kelihatan cantik serta anggun dengan tampilannya yang khas, mengenakan kerudung, kebaya dan jarik. Cocok dengan penampilan Bung Karno yang kharismatik, membawa tingkat komando, sepatu hitam, kacamata hitam, peci hitam, celana warna putih, dan pakaian kebesaran jas warna putih bersaku empat.
Di atas kanvas pelukis tersohor Basoeki Abdullah, ibu Fatmawati tak hanya tampil seperti benar-benar hidup dengan keramahan, kelembutan, kuat dan memesona, namun pula kerudung yang dipakainya tak hanya simbol religius, tapi juga sebagai simbol kultural sebagian besar perempuan Indonesia.
Barangkali ada di antara Anda, bila melihat Bu Fat seolah Anda merasakan kedamaian serta kesejukan bagai "ibu kita". Sekarang ini telah banyak "Bu Fatmawati" yang telah menjadi pelahir dan pendidik anak-anak bangsa. Mereka selalu "mengerudungi" hati dengan ajaran-ajaran kejujuran, kebenaran, atau budi pekerti yang luhur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H