Dari tujuh pendiri pertama, perlahan tapi pasti, anggota KHI bertambah. Kini, komunitas itu memiliki lebih dari 25.000 orang anggota dengan beragam usia dan latar belakang.
Namun, beragam tantangan harus dihadapi, dari problem internal seperti pergantian pengurus karena kesibukan dan tuntutan ekonomi, hingga sulitnya mengubah persepsi masyarakat yang masih memandang sejarah dengan sebelah mata.
"Mengurus komunitas seperti KHI butuh waktu, biaya, dan komitmen. Tak mudah menggugah kesadaran masyarakat, terutama generasi muda, untuk melek sejarah dan mencintai bangsanya," tutur Asep.
Meski begitu, KHI boleh berbangga hati karena upayanya selama ini mulai diapresiasi banyak pihak. Sejumlah penghargaan berhasil diraih, mulai dari level museum, swasta, universitas, gubernur, hingga menteri.
Salah satunya adalah Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2018 lalu, ketika KHI mendapat penghargaan yang diberikan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
"Apresiasi ini adalah motivasi untuk terus berkarya dan berinovasi mencari program baru agar tidak monoton. Juga untuk menyadarkan publik agar melakukan upaya dan gerakan yang sama," kata Asep.
Menariknya, ada anggota KHI yang akhirnya mengambil kuliah jurusan sejarah setelah aktif di komunitas tersebut sejak sekolah. Ada pula yang bertemu jodoh dan menikah dengan sesama anggota.
Kholid Zaim (21 tahun), mahasiswa semester enam Pendidikan Sejarah UNJ, bergabung dengan KHI sejak 2015. Sama seperti para seniornya, Zaim bergabung dengan KHI karena kecintaan pada sejarah.
"Selama tiga tahun terakhir, saya melihat sebetulnya masyarakat mulai suka sama sejarah. Kendalanya, mereka tak ada teman," kisah Zaim.
"Nah, tujuan saya bergabung dengan KHI agar kelak bisa berbagi ilmu dan sama-sama mempelajari sejarah bangsa ini," ujar pemuda yang kini menjabat Kepala Divisi Penelitian, Pengembangan dan Pemanduan KHI.
Tugas Zaim adalah memetakan rute untuk tur ke sejumlah tempat bersejarah, baik di wilayah Jabodetabek dan Pulau Jawa. Misalnya, wisata sejarah di Bogor atau Rengasdengklok.