Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Karyawan -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

rindu tak berujung rasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Miris, Hanya Beberapa Hari Jelang HAN Jatuhlah Vonis Itu

28 Juli 2018   05:56 Diperbarui: 28 Juli 2018   07:50 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tanggal 23 Juli setiap tahunnya kita memperingati HAN (Hari Anak Nasional). HAN diartikan sebagai ajakan kepada seluruh warga demi memperingati serta merenungkan apa yang harus kita lakukan demi mewujudkan dunia anak-anak yang lebih baik.

Peringatan HAN di Indonesia kerap diperingati dengan berbagai perlombaan dan aktivitas bersama pada anak-anak setingkat SD SMP dan SMA. Pemerintah mensinergikan HAN antara lain melalui Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat sebagai koordinator dan didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Presiden Soeharto  pernah mengatakan bahwa anak harus mempunyai bekal keimanan, jiwa dan semangat serta kesegaran jasmani agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berbudi luhur, bersusila, cerdas dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Hak anak merupakan poros pemerintah, maka dibentuklah KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi sebab terbentuknya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Namun miris sekali, hanya beberapa hari menjelang Hari Anak Nasional 23 Juli justru terjadi pemvonisan yang membangkitkan bulu roma.

WA seorang anak berusia 15 tahun divonis enam bulan penjara dikarenakan WA menggugurkan kandungannya yang telah berusia enam bulan. Janin yang dikandung WA adalah sebagai perbuatan bejat kakak kandungnya sendiri yang memerkosa WA. 

Keputusan pengadilan dikecam banyak pihak, namun KPAI mengatakan memahami keputusan itu.

Bila dilihat kronologis, warga Batanghari, Jambi, akhir Mei lalu terkejut dengan penemuan sesosok janin mengenaskan di sebuah kebun kelapa sawit di daerah situ. Hasil penyelidikan polisi menyatakan bahwa janin tersebut adalah sebagai hasil pengguguran kandungan seorang anak berusia 15 tahun akibat perkosaan yang dilakukan oleh kakaknya sendiri.

Pengadilan Negeri Muara Bulian membui WA dengan enam bulan penjara karena aborsi yang dilakukan WA, sedang kakak (si pelaku pemerkosaan) divonis 2 tahun penjara. AA (pelaku pemerkosa) dan WA diperintahkan segera menjalani rehabilitasi di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak). Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa sehari sebelumnya yang memvonis AA tujuh tahun penjara dan WA satu tahun penjara.

Walau vonis yang dijatuhkan Pengadilan Negeri lebih rendah dari tuntutan jaksa, tetapi banyak pihak yang mengecam keputusan tersebut.

Direktur Eksekutif Institute Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan putusan pengadilan itu kurang tepat.

"Anak sekecil itu diperkosa, tentu belum tahu ia bakalan hamil. Perkosaan yang dilakukan kakak sendiri tentu ia tidak bisa berbicara secara bebas. Pengadilan memvonis karena aborsi, tapi lihat dulu faktor-faktor penyebab yang mendorong. Saya kira putusan itu tidak tepat. Apakah ia harus dihukum?" jelas Anggara.

Sedang Rita Pranawati MA sebagai Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengatakan memahami putusan PN karena ada UU Kesehatan yang melandasi putusan hakim, bahwa pengguguran diperbolehkan selama janin belum mencapai 40 hari.

"Tapi ini sudah lebih. Sudah enam bulan, aborsi diketahui orangtuanya. Dalam keputusannya, hakim mungkin melihat ini sebagai perkosaan umum".

Anggara memerhatikan bahwa dari masa ke masa selalu muncul kasus baru. Dalam kasus Jambi ini sedianya tidak saja hanya menggunakan KUHP pidana serta UU Kesehatan, tetapi lihat juga Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban.

" Harus hati-hati, jika tidak malah justru mengkriminalisasi korban" tambah Anggara.

Lebih jauh ICJR mendorong agar DPR dan pemerintah mengadakan evaluasi terhadap regulasi yang ada supaya korban jangan malah menjadi korban sistem peradilan.

Miris memang, putusan terhadap WA justru terjadi hanya beberapa hari menjelang Hari Anak Nasional 23 Juli 2018.

Apakah putusan itu adil, dan bagaimana dengan efek kerugian psikologis yang dialami korban?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun