"Anak sekecil itu diperkosa, tentu belum tahu ia bakalan hamil. Perkosaan yang dilakukan kakak sendiri tentu ia tidak bisa berbicara secara bebas. Pengadilan memvonis karena aborsi, tapi lihat dulu faktor-faktor penyebab yang mendorong. Saya kira putusan itu tidak tepat. Apakah ia harus dihukum?" jelas Anggara.
Sedang Rita Pranawati MA sebagai Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengatakan memahami putusan PN karena ada UU Kesehatan yang melandasi putusan hakim, bahwa pengguguran diperbolehkan selama janin belum mencapai 40 hari.
"Tapi ini sudah lebih. Sudah enam bulan, aborsi diketahui orangtuanya. Dalam keputusannya, hakim mungkin melihat ini sebagai perkosaan umum".
Anggara memerhatikan bahwa dari masa ke masa selalu muncul kasus baru. Dalam kasus Jambi ini sedianya tidak saja hanya menggunakan KUHP pidana serta UU Kesehatan, tetapi lihat juga Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban.
" Harus hati-hati, jika tidak malah justru mengkriminalisasi korban" tambah Anggara.
Lebih jauh ICJR mendorong agar DPR dan pemerintah mengadakan evaluasi terhadap regulasi yang ada supaya korban jangan malah menjadi korban sistem peradilan.
Miris memang, putusan terhadap WA justru terjadi hanya beberapa hari menjelang Hari Anak Nasional 23 Juli 2018.
Apakah putusan itu adil, dan bagaimana dengan efek kerugian psikologis yang dialami korban?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H