Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Karyawan -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

rindu tak berujung rasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Drama di Balik Pengambilan Keputusan

13 Juli 2018   05:55 Diperbarui: 13 Juli 2018   09:17 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
membuat keputusan terkadang bukan hal yang mudah, terlebih saat keputusan yang akan diambil dapat menimbulkan konsekuensi

Hidup ini penuh dengan keputusan. Namun, kerap kali membuat keputusan bukan hal yang mudah. Ini saran para pakar.

Banyak hal bergantung pada kemampuan kita dalam mengambil keputusan.

Contohnya? Memilih jurusan ketika kita kuliah, pasangan hidup, pekerjaan, dan tempat tinggal. Ketika Anda harus bekerja di saat suami/istri atau anak sakit. Atau, saat Anda ditawari kerja dengan gaji lebih besar, padahal Anda sudah nyaman dengan perusahaan saat ini.

Saat dihadapkan pada situasi semacam ini, seseorang umumnya dilanda kebingungan tentang mana yang harus dipilih, karena semua opsi tampak sama pentingnya. Jadi, apa yang harus dilakukan?

Irvan Irawan Jie, MBA, ACMC, dari Meta-Coach Foundation, menyarankan bahwa saat dihadapkan pada pilihan yang sulit, lakukanlah pertimbangan yang matang dan ketahui konsekuensi yang akan dihadapi.

"Pahami konteks ketika mengambil keputusan, misalnya kapan akan diambil, apa efeknya pada orang lain, apakah kita punya kontrol akan keputusan tersebut, dan apakah keputusan yang diambil tidak merugikan diri sendiri dan orang lain," papar Irvan.

Sejatinya, membuat suatu keputusan adalah kewajiban setiap pribadi.

Menurut Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi., Psikolog, dari Brilian Psikologi, saat kita tidak membuat keputusan, kita pun telah membuat keputusan, yaitu untuk pasrah terhadap keadaan. Jadi, apa pun pilihannya, sebagai pribadi yang dewasa, kita tetap harus membuat keputusan.

"Karena itu, untuk mengambil keputusan dengan tepat dan tidak menyesal di kemudian hari, kita perlu memperhatikan beberapa hal sebelum memutuskan," ujar Danang.

Dari beberapa faktor itu, salah satu yang menarik adalah pentingnya meminta pertimbangan orang lain, yang bisa melengkapi perspektif kita terhadap masalah yang dihadapi. Tentu, ini pun harus disikapi dengan bijak.

"Pilih orang yang berpengalaman, lebih pintar, lebih bijak untuk memberi masukan," kata Danang. "Namun, pertimbangan orang lain ini hanya untuk sudut pandang berbeda. Keputusan akhir tetap di tangan kita."

Hal lain yang tak kalah penting diperhatikan adalah hindari mengambil keputusan ketika sedang marah.

"Waktu yang tepat adalah saat mental dalam kondisi stabil, tidak lemah, dan tidak dalam keadaan emosional. Pilihlah tempat yang bisa membuat tenang. Di saat mental tenang itulah, logika mampu berjalan optimal," tegas Danang.

Pengaruh karakter atau kepribadian seseorang dalam mengambil sebuah keputusan juga tidak serta-merta dapat disimpulkan pasti memengaruhi dalam pengambilan keputusan, karena sangat berhubungan dengan konteks permasalahan tersebut.

"Meski demikian, biasanya tipe ekstrover lebih cepat mengambil keputusan yang didasarkan atas pertimbangan orang-orang di sekitarnya. Sedangkan tipe kepribadian introver biasanya memutuskan atas pertimbangan pribadi dan jarang minta pendapat orang lain," papar Danang.

Dari perspektif berbeda, Irvan justru menilai bahwa pengaruh kepribadian cukup besar dalam pengambilan keputusan.

Menurutnya, dalam Neuro-Linguistic Programming alias NLP, ada yang dikenal dengan Meta Program, yaitu kacamata pikiran seseorang yang selalu digunakan ketika melakukan sebuah tindakan, berinteraksi, berkata-kata.

Contoh, "Meta Program Towards" akan selalu mengambil keputusan sesuai dengan apa yang diinginkan, sedangkan "Meta Program Away From" akan selalu mengambil keputusan berdasarkan apa yang ingin dihindari.

Sementara itu, orang tipe "Meta Program Global" akan mengambil keputusan tanpa mengetahui detail dari apa yang diputuskan. Orang yang memiliki "Meta Program Detail" tidak akan mengambil keputusan sebelum segala sesuatunya dipaparkan secara detail.

Ada pula "Meta Program Internal" - saat orang mengambil keputusan tanpa mendengarkan orang lain. Sebaliknya, orang dengan "Meta Program External" akan mengambil keputusan berdasarkan saran atau pertimbangan orang lain.

Kedua pakar ini sependapat, saran dari orang lain dibutuhkan ketika keputusan menyangkut sesuatu yang diluar pengetahuan atau kemampuan kita.

Ini berarti, kita tidak punya data sebagai bahan pertimbangan, atau berada dalam kondisi emosional dan kita tahu saat mengambil keputusan akan terjadi subjektivitas tinggi. Inilah saatnya membutuhkan pandangan orang lain.

Kendala lain yang kerap dihadapi dalam proses pengambilan keputusan adalah ketidakberanian dalam memutuskan. Meski sudah mengetahui, mempertimbangkan, dan punya kontrol untuk melakukan, namun sang individu tak kunjung memutuskan. Agar lebih berani, miliki mindset yang benar tentang diri dan kemampuan sendiri. Lantas, siaplah menghadapi segala konsekuensinya.

Masih ada sejumlah kendala yang sering menghalangi dalam memutuskan sesuatu, seperti kemampuan berpikir yang kurang matang, tidak siap menanggung risiko sehingga menunda pengambilan keputusan, atau terlalu subjektif dan tidak bersedia mendengar nasihat orang lain.

Kedua pakar ini sepakat bahwa kemampuan decision making bisa dipelajari dan dilatih sejak dini.

Caranya? Menurut Irvan, ajarkan seorang anak agar bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, dimulai dengan hal-hal yang sederhana. Misalnya mau makan apa, pakai baju apa, atau main apa.

"Ketika beranjak dewasa, ajak anak berpikir tentang pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan dalam mengambil keputusan, begitu pula konsekuensi, konteks, dan sisi ekologis dari setiap keputusannya," ujar Irvan.

"Mindset seseorang bisa dibentuk sedari kecil sehingga mereka punya pengalaman dalam mengambil dan menimbang sebuah keputusan. Dari sana, diharapkan ketika dewasa mereka pun sudah terlatih dari kecil untuk mengambil keputusan yang benar," ungkap Irvan.

Memang, kemampuan decision making perlu ditanamkan sejak dini.

Ini bisa dilakukan dengan memberi kesempatan pada anak untuk menentukan pilihannya sendiri, sebagai ajang latihan kemampuan pengambilan keputusan dan menumbuhkan perasaan mampu mengendalikan diri dalam suatu situasi dilematis.

Caranya? Ajak anak berlatih disiplin dengan membersihkan tempat tidur, tempat makan, dan berangkat sekolah tepat waktu. Jangan lupa orangtua juga perlu menjadi sahabat bagi anak, sehingga anak tidak segan menceritakan masalahnya.

Kemampuan pengambilan keputusan dikatakan berhasil bila seseorang berani bertanggung jawab atas apa yang dipilihnya, melakukan tahapan yang benar dalam pengambilan keputusan, menyelesaikan masalahnya secara mandiri, serta bersikap terbuka atas masalahnya.

"Ketika seseorang sudah bisa mandiri dan mulai berani beropini tentang apa yang mau diputuskan, apalagi ketika mereka sudah bisa memberikan alasan-alasan pendukung, inilah indikator keberhasilan dalam mengambil sebuah keputusan," pungkas Irvan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun