Saya bukan penggemar Novel. Tapi "To Kill a Mockingbird" karya Harper Lee membuat saya terjerat. Siang di pertengahan tahun 2009, seorang teman memberi saran untuk membaca novel setebal 533 halaman itu. Novel itu satu kesayangannya. Beruntung dia ikhlas meminjamkan kepada saya.Â
Awalnya saya mengira novel itu bergenre horor. Maklum, kata "Kill" dalam judul mempengaruhi opini saya. Namun, setelah resensi singkat yang membuat penasaran, saya mulai membaca di malam hari, satu-satunya waktu jeda di tengah rutinitas harian.Â
Bab pertama To Kill A Mockingbird langsung membuat saya terpikat. Tokoh penutur novel, Jean Loise Finch atau Scout, Â adalah bocah perempuan berusia 6 tahun.
Melalui kacamata Scout, Harper Lee dengan sangat terpuji bertutur deskriptif tentang pengalaman bocah tomboy Amerika Serikat di Maycomb County, Alabama, tahun 1930-an.Â
Karena narasi yang apik, Scout dan seluruh tokoh dalam novel memiliki karakter kuat. Dalam novel itu, Scout menjalani kehidupan sebagai anak kedua Atticus Finch, pengacara dan warga Negara yang dihormati di Maycomb County.Â
Atticus diminta pengadilan menjadi pembela Tom Robinson, warga negara Amerika Serikat kulit hitam, yang diduga memperkosa perempuan kulit putih.
Saat itu, Amerika Serikat masih diselimuti kebencian ras. Warna kulit bisa menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar.Â
Sejak kejadian itu, kehidupan Scout dan kakaknya berubah. Scout yang digambarkan sebagai bocah kritis karena keluguannya, tak berhenti bertanya kepada dirinya dan Atticus.
Kenapa Atticus harus membela Tom? Dan kenapa banyak orang tidak suka Atticus karena mejadi pengacara Tom?Â
Di saat bersamaan, Harper Lee menghadirkan tokoh Boo Radley. Boo digambarkan sebagai pemuda yang misterius. Karena sering menyendiri dan jarang keluar rumah, Boo dianggap aneh dan menyeramkan bagi anak seusia Scout.