Mohon tunggu...
Ashri Riswandi Djamil
Ashri Riswandi Djamil Mohon Tunggu... Guru - Belajar, belajar, dan belajar

wkwk land

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjadi Pengajar yang Pembelajar

5 Oktober 2021   08:37 Diperbarui: 5 Oktober 2021   08:40 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Maret 2020 adalah momen perubahan yang cukup radikal dalam dunia yang kita anggap selama ini sudah normal. Momen ketika semua menjadi tidak sama lagi seperti sebelumnya. Momen dimana hal-hal baik yang selalu kita lakukan sebelumnya menjadi sebuah sikap yang harus diperhitungkan secara mendalam. Hal kecil yang bisa berdampak besar pada kesehatan fisik manusia. Virus yang sangat asing bagi kita, mungkin seperti virus flu pertama kali hadir di dunia. 

Diawali dengan pandemi dan tidak pernah berakhir memang. Tetapi kita menjadi terbiasa dan hidup berdampingan dengan virus flu yang tidak seganas ketika pertama kali pandemi.

Pada akhirnya, mungkin nanti Covid-19 ini akan menjadi penyakit yang biasa tanpa mengesampingkan kenyataannya bahwa virus ini tetap berbahaya dan pastinya kita tidak ingin juga terjangkit bukan?

Tatanan kenormalan baru atau istilah 'keren'-nya new normal menjadi sebuah cara baru kita menghadapi kehidupan sehari-hari yang sebenarnya kita sudah beberapa kali menghadapi new normal ini. Contohnya ketika teknologi komunikasi handphone mulai marak. Sekarang semua orang minimal punya handphone apapun tipe dan modelnya. 

Kemudian sekarang hampir semua orang menggunakannya. Kemudaian setelah kita memiliki smartphone layar sentuh, maka berubah lagi kebiasaan kita. Dari SMS dengan pulsa biasa ke 'chat'dengan menggunakan data internet yang lebih hemat. Semua orang beralih ke aplikasi perpesanan. 'new normal'.

Namun new normal kali ini mengalami banyak hal yang seharusnya tidak berubah tetapi sebagian kita bisa menerimanya. Ada juga yang tidak bisa, atau kurang bisa diterima. Seperti sekolah dari rumah. Secanggih sekarang teknologi informasi, belum tentu semua anak memiliki 'gawai' atau 'smartphone'. 

Namun, pandemi ini jadi mengharuskan mengandalkan teknologi tersebut. Pembelajaran tatap muka masih belum bisa tergantikan. Kecuali, belajar secara daring itu dilakukan sebagai bagian dari variasi model belajar tidak masalah.

Teknologi informasi berupa kepemilikan gawai saja belum cukup. Ini berhubungan dengan kondisi geografis. Masalah infrastruktur telekomunikasi yang ternyata belum merata. Masih banyak daerah terpencil atau daerah yang masih susah sinyal. Keyataan tersebut harus menjadi perhatian pemerintah juga. 

Karena tidak mungkin masalah ini diselesaikan oleh rakyat sendiri. Bukan tidak bisa, hanya kurang kuat kalau tidak ada pemerintah yang berperan. Kolaborasi antara pemerintah dan pihak swasta kalau urusan infrastruktur ini sangat dibutuhkan.

Guru sangat berperan dalam dunia pendidikan khususnya sekolah di masa pandemi ini. Tidak hanya murid yang punya kendala kepemilikan gawai untuk belajar jarak jauh secara daring. Guru pun tidak luput dari masalah ini. Tidak semua guru kemampuan keuangannya cukup. Kebanyakan dari mereka cenderung berada di bawah. 

Apalagi guru honorer yang tidak selalu tersedia pulsa internet yang cukup untuk mengajar. Syukur pemerintah telah membantu lewat paket data untuk guru, dosen dan murid melalui kemendikbudristek sehingga cukup membantu mereka.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun