Mohon tunggu...
Ashri Riswandi Djamil
Ashri Riswandi Djamil Mohon Tunggu... Guru - Belajar, belajar, dan belajar

wkwk land

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lewat Tengah Malam

12 November 2020   14:46 Diperbarui: 12 November 2020   14:53 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu tidak seperti biasanya. Orang tua itu hanya duduk di kafe sendirian. Biasanya dengan dua sahabatnya. Biasanya mereka berada di kafe sejak matahari baru terbenam sekitar dua jam setelahnya. Obrolan mereka biasanya ramai. Penuh candaan dan sesekali terdengar serius. Terjadi 3 atau empat kali dalam sepekan. Memang kafe ini cukup nyaman dengan penerangan yang tidak terlalu menyilaukan mata. Dengan ornamen lampu terkesan vintage. Meja kayu bulat dengan 3 kursi. Dua orang berada di balik bar. Kafe ini tergolong kecil. Namun tidak pernah sesak pengunjung diluar weekend.   

Malam itu orang tua itu sendiri dan sudah menghabiskan 3 cangkir kopi. 1 americano dan dua cangkir kopi saring Gayo. Favoritnya. Ditemani sebuah buku. Novel Hemingway favoritnya. Salah satu baristanya perempuan awal duapuluhan. Dan pria awal 30 an. Dan pengunjung malam itu semakin berkurang. Waktu sudah hampir tengah malam. Kira-kira satu jam lagi.

Rasa penasaran barista perempuan menyeruak. Ada apa gerangan? Pikirnya. Entah inisiatif apa yang membuatnya mendekati orang tua yang coba dia tebak sudah memiliki cucu lebih dari satu mungkin."boleh duduk disini pak? Orang tua itu sedikit tersentak dari bacaan bukunya yang terlihat begitu syahdu." O ya, silahkan nak, kamu bosnya kan hehe..."  candanya. Raut ramahnya membuat si perempuan mud aini juga sedikit kaget. Ternyata raut wajahnya yang kalau sedang serius sama sekali tidak memperlihatkan keramahan. Cenderung muram.

"tumben sendiri aja nih pak? Dia membuka percakapan. "iya teman-teman pada sibuk dengan keluarganya masing-masing. Jarwo pulang ke kampungnya di Mojokerto. "Cucunya yang paling kecil meninggal terkena demam berdarah". "kasihan sekali ya". Respon si perempuan barista. "ya kasihan, masih kecil belum genap enam tahun", saya tau dia sayang sekali dengan cucunya itu"."umur tidak ada yang tau kan? jadi... Lisa kan? Orang tua itu menyebut nama barista itu. "Ya pak? " kamu kerja sampai malam-malam gini, tidak ada yang nungguin di rumah? Lisa mencondongkan wajahnya sedikit dengan lengannya di atas meja seperti posisi murid sd di kelas. "maksud Bapak, kucing di rumah saya? Sambal senyum yang ditahan. "Oh kamu tinggal sendirian rupanya". "ya saya merantau. Anak rantau yang bekerja sampai malam demi bisa bayar uang sewa kos, dan sedikit uang jajan aja sih kek" eh maaf pak" Lisa tersipu malu keceplosan nyebut kakek. Ya dia berasumi kalau pria dihadapannya memang sudah pantas dipanggil kakek.

"O ngga apa-apa nak, emang sudah kakek-kakek kan? semua orang juga bisa liat hahaha... tawa nya pecah. Serak-serak ala Pacino gitu. " ya beginilah hidup orang tua yang menunggu kapan pergi". "kakek jangan bilang gitu ah.... Masih sehat gini kok ngarep mau... buru-buru di potong sama orang tua itu."maksudnya pergi pulang ke rumah toh" hahaha!!!" jangan melankolis gitu ah". "memang ya anak zaman sekarang itu senangnya menggalau ria", heran saya..." "ah si kakek bisa aja sih... " aku jadi mellow gin ikan" hehe... ternyata Lisa sempat berkaca-kaca tadi.

"mengapa anak muda? Kamu kok sepertinya memikirkan sesuatu hah? Orang tua itu mencoba menyelidiki tipis-tipis perempuan muda di hadapannya. " Ah ngga kok kek, Cuma teringat orang tua aja di kampung. Sudah hampir setahun belum pulang karena situasi pandemi ini". "ya dikuat-kuatin aja lah". "yang penting selalu berkabar aja, semua keluarga sehat-sehat". "ya toh". "ya kek makasih aminn".

Tidak terasa obrolan dua orang beda generasi ini membunuh waktu tanpa terasa. Sampai sudah jam 12 malam lewat. Kafe ini biasa tutup tepat jam 12. Namun malam ini pengecualian. Lisa dan seorang tua itu ngobrol cukup intens. Seperti mengobati rasa kangen Lisa dengan orang tuanya. Dan.. "baik berapa semua tagihannya? Saatnya saya Kembali ke gubuk, hehe..." sambal berdiri, Lisa memberi kode kepada rekannya agar mencetak tagihan. "ini kek". Sang kakek itu pun langsung pergi setelah memberikan selembar uang berwarna merah, dan menolak untuk menerima kembaliannya.

Dengan skuter tuanya dia pergi menjauh dari kafe. Waktu sudah lewat tengah malam.      

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun