Suatu ketika ditahun 1929 Editor sebuah penerbit ternama di New York Charles Scribner's Sons bernama Max Perkins. Membaca draft sebuah novel yang sebelumnya dia bahkan tidak tahu apakah ini novel yang layak diterbitkan.Â
Setelah salah satu stafnya menyerahkan tumpukan kertas yang cukup tebal bahkan terlalu tebal untuk sebuah novel saat itu. Stafnya mengatakan bahwa ini mungkin bukan novel yang bagus, tapi unik. Banyak penerbit kala itu yang menolaknya. Tapi entah mengapa berakhir di penerbit yang saat itu terbilang penerbit mayor. Sudah berapa buku Ernest Hemingway, Scott Fitzgerald, dan nama-nama tenar lainnya masa itu telah melewati tangan dinginnya Max Perkins selaku editor utama di penerbit itu.
Max pun membaca perlahan di awal bab dan dia keterusan membacanya bahkan sambil dalam perjalanan pulang di kereta. Tak henti-hentinya dia membaca dengan seksama dan tampak begitu menikmatinya. Bahasanya sangat puitis dan tidak biasa. Dengan kata lain, unik! Ya itu adalah sebenarnya adegan awal dari film "Genius". Tentang kisah sukses Seorang novelis bernama Thomas Wolfe. Film yang menarik untuk disimak. Memang sudah empat tahun yang lalu beredar.
Film ini menceritakan justru yang menarik perhatian saya bukan ke penulis tersebut yang diperankan secara apik oleh Jude Law. Tapi bagaimana Colin Firth yang memerankan sang editor Maxwell Perkins. Dipanggil Max. berperan sangat penting dalam menjalankan tugasnya menjadi editor. Disini sebenarnya saya mencoba mempelajari bagaimana editor itulah yang pertama kali membaca karya penulis sebelum diterima atau bahkan sebelum ditolak. Menarik ternyata menjadi editor itu tidak sekedar menyunting kalau Bahasa Indonesianya.Â
Tidak sekedar mengoreksi tata bahasanya. Tapi bagaimana editor itu mampu membuat buku yang layak cetak dan indah. Menjadi produk yang memang diinginkan pembacanya. Selain bahasanya telah disunting sehingga tidak ada kata yang salah cetak. Tetapi juga sampai pada tahap, ini yang menarik.Â
Dalam salah satu adegan di film itu, diceritakan bahwa novel pertama Thomas Wolfe itu sangat amat tebal untuk ukuran novel. Sehingga Max meminta untuk membuang 300 halaman dari 700 halaman utuh. Dan Thomas pun keberatan. Atau, novel itu tidak pernah diterbitkan kata Max. terdengar seperti ancaman tetapi disaat yang sama dia menginginkan novel ini diterbitkan. Dan ini adalah tugas berat editor untuk menyampaikan apa yang harus dilakukan.Â
Demi kebaikan bersama. Bayangkan novel yang begitu tebal. Mungkin orang-orang enggan menyentuhnya. Tapi setelah sekian minggu akhirnya novelnya diterbitkan dan meledak di pasaran. Walaupun sudah di kurangi halamannya, tetap saja terlihat tebal dan yang paling penting novel itu best seller. Thomas Wolfe pun terkenal bak super star kala itu.
Sebagai orang awam, bahkan penulis amatiran seperti saya. Bukan merendahkan diri, tapi ini adalah proses belajar. Saya masih belum banyak mengetahui seluk beluk editor ini. Dan yang uniknya dan ini cukup mencengangkan saya. Sungguh dan seperti tidak nyata. Bahwa editor buku itu ternyata bukan penulis. Saya kaget betul."masa iya sih? Justru editor itu yang menguasai tulisan. Bagaimana bisa sang editor itu bukan penulis? Ini masih saya cari jawabannya.Â
Karena saya baru mendapat referensi dari film ini, maka saya berasumsi bahwa memang demikian seorang editor itu. Dan benar memang editor itu harus memiliki insting yang tajam akan tulisan yang di suntingnya. Mampu menangkap pesan penulis yang disampaikan. Dalam salah satu adegan di film itu, Max berdebat dengan Tom, bahwa tidak perlu menjelaskan adegan pertemuan tokoh novel itu sampai satu paragraf untuk sekedar adegan pertemuan di stasiun kereta.Â
Tom begitu detail menjelaskan semuanya mulai keadaan stasiun, orang lalu-lalang di stasiun, sampai wanita bertopi panjang yang melintas juga di deskripsikan sedemikian rupa. Editor juga harus memiliki kelihaian dalam memahami tulisan para penulisnya. Tujuannya apa? Kalau di novel ya jelas fiksi, harus paham mengapa sang tokoh utama berkarakter begini atau begitu, dan banyak lagi yang harus dikuasai seorang editor. Disinilah saya menjadi tahu dan momen "Oh" itu banyak terjadi saat menonton film ini.
Benar apa yang dikatakan seorang Hemingway. Tidak ada namanya menulis, tapi yang ada kamu duduk di depan mesin tik dan mulai berdarah. Menulis itu berdarah-darah menurut Hemingway. Menulis bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan ketekunan, ketajaman pikiran, dan dedikasi yang tinggi. Entah bagaimana dengan penulis yang karyanya di tulis oleh ghostwriter.Â
Tetap saja bahkan saya tidak mau tahu jika sebuah karya tulis itu ditulis oleh ghostwriter. Saya yakin saja itu tulisannya. Sang penulis yang namanya terpampang di cover depannya dengan posisi bawah rata tengah. Sampai saat ini, penulis adalah proferi paling keren menurut saya, dan saya sedang menuju kesana. Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H