Menjadi autis memang bukan pilihan. Aku tidak pernah mempertanyakan semua ini. Aku terima keadaanku bahkan aku entah bagaimana tidak pernah berpikir apakah semua ini berhubungan dengan hal-hal gaib atau apapun itu. Tidak. Semua ini terjadi dengan begitu harmonisnya. Terbentuk secara alami.Â
Ada proses panjang yang terjadi. Itu kenapa aku menyukai sains. IPA, Fisika, Biologi, Sejarah. Bahkan tidak ada pelajaran yang menurutku sulit. Tidak ada sama sekali. Aku tidak ada masalah sama pelajaran. Apalagi sama buku. Dianggap kutu buku lah, apalah aku tidak peduli. Saat ujianpun aku tidak peduli dengan bisikan-bisikan makhluk di sekitarku.Â
Aku terlalu sibuk dengan kertas dan pulpenku. Mungkin sikapku selama ujian semester inilah yang membuatku banyak dimusuhi anak-anak sekelas. Namun lucunya semakin berkurang bisikan-bisikan gaib itu semester akhir sebelum kenaikan kelas. Mungkin banyak yang sadar dan akhirnya belajar dengan serius. People change, kata orang bijak.
Perlahan gangguan, intimidasi yang ku alami mengalami penurunan. Mungkin mereka jadi malas membully aku. Ya karena tidak aku ladeni. Aku hanya diam. Terkadang aku lari menghindari mereka, begitu terlihat gelagat aneh dari jauh. Sembunyi. Sampai akhirnya kalaupun ketahuan, ya ngga diapa-apain juga.Â
Akhirnya kami tertawa bareng. Mungkin aku lebih cocok home schooling aja ya. Begitu saran kawan-kawan orang tuaku. Tapi mereka enggan melakukan itu. Mereka ingin aku memiliki pengalaman sosial dengan orang lain. Memang untuk orang yang baru pertama kali kenal denganku. Bisa dilihat lah. Dari mataku yang seperti mengalihkan atau menghindari bertatapan mata langsung. Karena aku tidak fokus ke orang di depanku cenderung melihat di sekitarnya. Â
Tipikal autism seperti aku. Dan ya fokusku hanya pada benda mati yang menjadi sahabat terbaikku saat ini. Dan aku masih remaja. Kelak aku akan dianggap orang yang apa katanya dengan sebutan "normal". Ya aku normal kok. Menurutku. Ngga tau kalau menurut orang lain. Nggak aku pikirin juga sih. Entah kenapa orang-orang itu kok sedikit-sedikit marah.Â
Tersinggung gitu ya. Padahal sekedar konfirmasi saja lho. Seperti "apa benar omonganmu itu? Dia marah. Padahal tinggal jawab ya atau enggak gitu aja kok ya mesti marah ya? Heran aku kadang-kadang. Dianggap kritik. Memangnya kritik itu ngga boleh? Dilarang? Sementara banyak penulisbuku yang justru meminta kritik dan sarannya. Untuk perbaikan isi buku kedepannya. Ini kenapa aku suka dengan buku. Penulisnya pasti seorang yang rendah hati sekali. Berpikiran terbuka. Ya memang tidak ada teman yang setia seperti buku.
Buku itu juga mengajarkan kita, untuk berpikir secara ilmiah. Berdasarkan penelitian. Bahkan untuk tulisan fiksi sekalipun. Butuh penelitian, riset, wah banyak deh dan serius melakukannya. Coba itu novelnya George Orwell. Apapun judulnya seperti "1984 " wah itu ngga main-main. Memang fiksi tapi isinya itu semacam prediksi tentang dunia yang kita tinggali saat ini. Nyaris sempurna penggambarannya. Bagaimana dunia saat ini akibat kemajuan teknologi.Â
Semua bisa diawasi. Seolah kebebasan berpendapat itu dibatasi secara represi. Ya begitu tentang novel Orwell itu. Seperti seorang yang visioner. Fiksi lho itu. Butuh riset yang mendalam juga ternyata. Buku itu sebuah karya yang abadi. Walaupun sang penulis nantinya akan meninggalkan dunia. Buku itu juga symbol intelektual penulisnya.Â
Makanya bakar buku itu tindakan yang menurutku sadis. Ketika isi buku tersebut dianggap sesat oleh orang-orang. Maka seharusnya dilawan dengan buku juga. Bukan di bakar. Ya kalau bukunya tidak bagus ya jangan dibaca juga dong. Biarin aja. Kan nanti ga laku terus ya  penulisnya yang punya urusan dengan pihak toko buku kan. Gitu aja sih.
Mungkinkah suatu saat nanti buku akan musnah? Diganti oleh benda lain yang lebih canggih? Bisa saja tapi bagiku buku yang terbuat dari kertas ini tetap tak tergantikan. Walaupun ada teknologi baru nantinya.Â